Saturday, October 12, 2024

DINASTI ABBASIYAH

 

DINASTI ABBASIYAH

 

A.         Pendahuluan

Berdirinya Dinasti Abbasiyah berawal sejak runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus. Banyaknya konflik yang terjadi pada Dinasti Umayyah menjadikan Dinasti Abbasiyah maju menggantikan kepeminpinan umat islam. Revolusi kepemimpinan Abbasiyah terhadap Umayyah banyak mendapatkan simpati dari Masyarakat, terutama dari kalangan Syi’ah. Dukungan ini disebabkan karena janji untuk menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktekkan oleh Khulafaurrasyidin.  Nama Dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Muhammad yang bernama al – Abbas ibn Abd al – Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al -Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al – Abbas.

Peradaban Islam mengalami pucak kejayaan pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli Sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemnerintahan Dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.

Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam. Terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, Pada masa inilah, pertama kalinya dalam sejarah terjadi kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat dan menjadi suatu dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam hingga saat ini.

 

 

B.         Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah adalah dinasti kedua dalam Sejarah Islam klasik yang menggantikan Dinasti Ummayyah. Lahirnya Bani Abbasiyah pada tahun 750 M tidak terlepas dari peran besar keturunan Hasyim yang bernama Abu Abbas. Nama Abbasiyah itu sendiri diambil dari nama bapak pendiri Abbasiyah, yaitu Abas bin Abdul Mutalib paman Nabi Muhammad Saw. Proses lahirnya Bani Abbasiyah dimulai dari kemenangan Abu Abbas Assafah dalam perang terbuka melawan Bani Ummayah yang terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas diberi gelar Assafah karena pemberani dan mampu memainkan mata pedangnya kepada lawan politik, semua lawan politik dikejar dan diusir keluar dari wilayah kekuasaan Abbasiyah yang baru direbut dari Bani Umayyah. Pada saat pergantian kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah banyak diwarnai dengan pertumpahan darah. Pemberontakan massal yang berkepanjangan menyebabkan tumbangnya Dinasti Bani Umayyah pada tahun 132 H/ 750 M dengan kalahkan khalifah Marwan ibn Muhammad.[1] Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang agama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawan yang panjang dalam sejarah Islam. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, karena bani Hasyim secara nasab keturunan lebih dekat dengan Rasulullah. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedy perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah.[2]

Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam memainkan perannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muthalib. Dari nama Al – Abbas paman Rasulullah inilah disandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan, yaitu: Huhaimah, Kufah dan Khurasan.[3]

Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.

Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang   berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Ummayah terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya dieksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abu Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh dan memerintahkan untuk pindah ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah. Segeralah Abu Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah di iringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali. Penguasa Umayyah di kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukan oleh Abbasiyah dan di usir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di kufah yang telah di taklukan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abbul Abbas di perintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad Bersama pasukannya yang melarikan diri. Akan tetapi pada akhirnya dapat dipukul mundur di Sungai Zab. Khalifah melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir, dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Al – Fayyum, tahun 132 H/ 750 M. Dan berdirlah Dinasti Abbasiyah yang di pimpin oleh khalifah pertama yaitu Abbul Abbas Ash – Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.

Berdirinya Bani Abbasiyah tahun 750 M berarti secara formal semua wilayah kekuasaan islam berada dibawah kepemimpinan pemerintahan Abbasiyah termasuk semua bekas Bani Umayyah kecuali wilayah Bani Umayyah yang berada di Andalusia.

Selama kekuasaan Dinasti Abbasiyah, peradaban Islam sangat berkembang. Jika pada masa Bani Umayyah lebih dikenal dengan upaya ekspansinya, maka pada masa Dinasti Abbasiyah yang lebih dikenal adalah berkembangnya peradaban Islam. Kalau dinasti Umayyah terdiri atas orang-orang ‘Arab Oriented’, dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional, assimilasi corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan sebagainya.

Pemerintahan Dinasti Abbasiyah berlangsung selama 505 tahun dan diperintah oleh 37 khalifah yang dibagi menjadi 5 fase pemerintahan, yaitu:

a.     Fase pembentukan tahun 750 M – 847 M

Fase ini dimulai dari khalifah pertama yaitu Abu Abbas Assafah sampai ke khalifah ke 9 al Wastsiq. Abu Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur adalah khalifah sebagai peletak pondasi yang kuat bagi dinasti ini. Kemudian ada khalifah Harun al – Rasyid sebagai khalifah kelima yang membangun peradaban ilmu pengetahuan.

b.     Fase kedua tahun 847 M – 945 M

Fase kedua dikenal dengan pengaruh kekuasaan Turki, fase ini dimulai dari khalifah yang kesepuluh yaitu al – Mutawakkil, pada masa ini peradaban masih berkembang tapi tidak pesat seperti fase sebelumnya. Pada masa ini diakhir abad ke – 9 terjadi disintegrasi atau pecahnya kekuasaan islam menjadi wilayah – wilayah kecil yang lepas dari pemerintahan Abbasiyah.

 

 

c.     Fase ketiga tahun 945 – 1055 M

Fase ini dikenal dengan masa disintegrasi di kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan Muluk Tawaif di dinasti Umayyah II Andalusia. Pada fase ini perkembangan ilmu masih berjalan meskipun sudah menurun dan mahasisawa dari Eropa masih tetap belajar di pusat – pusat peradaban Islam, baik di Bagdad maupun Andalusia.

d.     Fase keempat tahun 1055 – 1194 M

Fase keempat ini disebut juga dengan kekuasaan bani Saljuk atau fase pengaruh Turki kedua. Kegiatan perkembangan ilmu masih berjalan akan tetapi dibeberapa tempat di wilayah Islam telah terjadi perang dengan orang Kristen.

e.     Fase kelima tahun 1194 – 1258 M

Ini adalah fase terakhir dari Dinasti Abbasiyah, fase dimana pemerintahan semakin lemah dan hancurnya Dinasti Abbasiyah. Setelah terjadi disintegrasi dan perang salib dan pada akhirnya diserang oleh kekuasaan Mongolia. Kekuasaan Islam yang selama 5 abad dibangun dengan susah payah telah takluk dan hancur.

 

C.            Kemajuan Dalam Bidang Intelektual, Keagamaan Dan Sosial Budaya

Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah didalam perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, termasuk kemajuan dalam bidang sosial budaya.

a.     Kemajuan dalam bidang intelektual

Puncak keemasan dan kejayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah Harun ar-rasyid dan putranya Al Makmun. Pada masa itu umat islam diberi kebebasan berfikir untuk kemajuan pengetahuan dan pengembangan manusia pada saat itu. Pada masa kekhalifahan ini pula hasi pemikiran manusia dan para ahli ilmu dari berbagain bangsa di dunia berkembang dan saling melengkapi dan menambah kemajuan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.[4]

Pada masa Dinasti Abbasiyah suasana belajar sangat kondusi dan fasilitas belajar disediakan oleh pemerintah dengan lengkap. Masyarakat mendatangi tempat – tempat belajar seperti Kuttab, madrasah maupun perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang terkenal pada masa itu adalah Nizamiyah yang dibangun oleh perdana Menteri Nizamul Muluk dari khalifah Harun al- Rasyid. Khalifah Harun al- Rasyid terkenal sebagai khalifah yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, baik belajar maupun dalam hal membangun fasilitas belajar, seperti; sekolah, perpustakaan, menyediakan guru dan membentuk gerakan terjemahan.

Dinasti Abbasiyah yang berkuasa sekitar lima abad lebih merupakan salah satu dinasti yang sangat peduli pada pengembangan ilmu pengetahuan. Buku – buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan diterjemahkan kedalam Bahasa Arab. Kegiatan penerjemahan buku – buku ini berjalan sekitara satu abad. Bait al – Hikmah, yang didirikan oleh al – Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat terjemahan, tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Diantara cabang – cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait al – Hikmah yaitu ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, astronomi, Sejarah dan filsafat.

Didorong oleh ayat – ayat al – Quran yang menganjurkan kepada umat islam untuk menghargai kekuatan akal yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada manusia dan ajaran Rasulullah agar umat Islam untuk selalu mencari ilmu pengetahuan sehingga cendekiawan Islam tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat tetapi juga melakukan kajian, pemikiran dan penyelidikan sendiri dalam bidang filsafat. Proses ini disebut dengan Hellenisasi. Melalui proses ini karya karya teresbut dimodifikasi sehingga menjadi sebuah pemikiran khas Islam. Diantara tokoh – tokoh yang ikut andil dalam perkembangan ilmu filsafat Islam adalah: (1) Al – Kindi (801 – 873 M) beliau adalah seorang filsuf muslim pertama yang berasa dari suku Kindah. Al – Kindi berusaha untuk menjelaskan hubungan antara agama dan filsafat, antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan sehingga tidak perlu diperdebatkan karena keduanya sama – sama mencari kebenara. Titik temu pada kebenaran inilah yang kemudian menyebabkan banyak ilmuan Muslim mengkaji pemikiran filsafat Yunani dan Romawi sehingga filsafat menjadi salah satu hasil dari pemikiran ilmuan muslim yang sangat cemerlang saat itu; (2) Abu Nasr al – Faraby (870 – 970 M) karya dan pemikiran beliau yaitu fusus al hikam, al – mufarriqat, Ara’u ahl al – Madinah al – Fadhikah. Diantara pemikirannya yang sangat cemerlang dalam bidang filsafat adalah filsafat emanasi (pancaran); (3) Ibnu Sina (980 – 1037 M) beliau adalah salah satu filosuf muslim yang gemar mencari pengetahuan sehingga pengetahuannya berkembang tidak hanya dalam bidang filsafat tetapi juga dalam ilmu kedokteran yang menghasilkan sebuah karya besar yaitu al – Qanun fi al – Thibb (ensiklopedi kedokteran) yang menjadi bahan rujukan para ilmuan dan dokter dunia hingga abad ke – 18 M. diantara pemikiran filsafat yang dikembangkan adalah filsafat jiwa, filsafat wahyu dan Nabi, dan filsafat wujud; (4) Al – Ghazali (1059 – 1111 M) diantara karya al – Ghazali adalah al-Munqidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan), Tahafut al-Falasifah (kerancuan pemikiran para filosof). Al-Ghazali melalukan pencarian kebenaran dan hakikat dan tidak menemukan argument yang kuat dalam kedua bidang tersebut, akhirnya melakukan pencarian diri mengenai hakikat yang sebenarnya. Semua itu ditemukan dalam bidang tasawuf. Dalam bidang inilah dia mencapai kepuasan dalam usaha mencari kebenaran yang hakiki; (5) Ibnu Rusyd (1126 – 1196 M) merupakan seorang filosul yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan selain filsafat seperti ilmu fiqh, Bahasa dan sastra Arab, matematika, fisika, astronomi, logika dan ilmu kedokteran. Diantara karyanya adalah Bidayah al-Mujtahid (membahas ilmu hukum) Kitab al-Kulliya (membahas ilmu kedokteran) dan dia dikenal juga sebagai seorang komentator Aristoteles karena kritikan dan komentarnya yang sangat tajam. Pemikiran Ibnu Rusyd dan Al – Kindi mempunyai kesamaan dalam bidang filsafat, karena menyatakan filsafat tidaklah bertentangan dengan Islam karena antara Islam dan filsafat memiliki kesamaan yaitu mencari tahu tentang pencipta alam semesta dan isinya.

Pemikiran dan karya para filosof Islam yang hidup pada Dinasti Abbasiyah menjadi rujukan oleh para ilmuan dan filosuf selanjutnya, selain itu juga pemikiran para filosuf Islam ini membuat bangsa barat mencapai masa kejayaan karena telah terbuka pikiran dan gagasan serta menerjemah karya umat Islam kedalah bahasa Yunani. Dari sinilah dikenal masa renesaince (revolusi industri)

Ilmu kedokteran juga merupakan salah satu ilmu yang mengalami perkembangan yang sangat pesat pada saat itu. Dimana pasa masa tersebut didirikan apotik. Pada awal abad ke-9 Harun al-Rasyid mendirikan rumah sakit islam dengan mencontoh rumah sakit yang ada di Persia. Tokoh – tokoh Islam yang terkenal dalam dunia kedokteran antara lain adalah al-Razi dengan karangannya yaitu al-hawi. Dan Ibnu Sina dengan karangannya yang terkenal yaitu al-Qanun fi al-Thibb dan Materia Medica.[5]

Terdapat juga ilmu kimia yang memperkenalkan eksperimen obyektif dengan tokoh yang terkenal dalam bidang kimia yaitu Jabir bin Hayyan dan dalam bidang matematika dengan tokoh yang terkenal yaitu Al-Khawarizmi, selain itu juga Al-Khawarizmi merupakan seorang ahli di bidang ilmu bumi dan astronomi, ahli ilmu bumi pertama dalam Sejarah Islam adalah Hisyam al-Kalbi yang terkenal pada abad ke-9 M.

b.     Kemajuan dalam bidang keagamaan

Dinasti Abbasiyah juga memperhatikan dengan perkembangan ilmu agama pada masa pemerintahannya, seperti ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu fiqh dan tasauf.

Ilmu Hadis:

Berawal dari masa Dinasti Umayyah dalam Upaya melakukan penafsiran Al Quran, maka penguasa melakukan Upaya pencarian dan pengumpuan hadis – hadis Nabi. Hanya saja pembukuan hadis tidak dapat diselesaikan karean meninggalnya khalifah Umar bin Abdul Azis. Kemudian pada pertengahan abad ke 2 H telah terjadi bentuk  baru dalam pembukuan hadis, yaitu pembukuan yang terlepas dari sistematika fiqh dan tidak dimasukkan kedalamnya Fatawa al-Tabi’in dan pada abad ke 2 H mulai diadakan kritik hadis dan kritik terhadap sanad. Diantara tokoh yang terkenal dalam bidang hadis yaitu Imam al Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i.

Ilmu Tafsir:

Ilmu tafsir adalah ilmu yang dikembangkan untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an. Pada awal masa Dinasti Abbasiyah, ilmu tafsir masih menjadi bagian dari ilmu hadis. Para ulama memahami isi Al-Qur’an dari hadis yang diriwayatkan oleh para imam hadis. Pada perkembangan berikutnya, tafsir Al-Qur’an mulai dibukukan secara terpisah dari kitab hadis. Mereka yang menyusun kitab tafsir ini disebut dengan mufassirin atau ahli tafsir. Di antara ahli tafsir yang muncul pada saat ini, ada seorang yang berhasil menyusun kitab tafsir yang cukup lengkap. Ia bernama Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir atau ath-Thabari (839-923 M). Kitab tafsir yang disusunnya berjudul Jami ‘al-Baya fi Ta’wil Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan nama Tafsir At-Tabari. Tafsir At-Tabari menjadi pelopor penyusunan kitab tafsir pada masa-masa berikutnya.

Ilmu Fiqh:

Pada masa Dinasti Abbasiyah, para fuqaha (ahli fiqh) mampu Menyusun kitab – kitab fiqh terkenal hingga saat ini. Para ahli fiqh dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: ahl al Hadis dan ahl al-Ra’yi, ahl al Hadis adalah golongan yang menyandarkan kepada hadis dan mengambil hukum(istinbath al-hukm) sedangkan ahl al-Ra’yi adalah golongan yang menggunakan akal dalam mengambil hukum (istinbath al-hukm).

Pada masa Dinasti Abbasiyah terjadi pertentangan antara ahli hukum tentang sumber pengambilan hukum, antara al-Sunnah, al-Qiyas, Ijma’ dan Taklif. Kemudian dari pertentangan ini lahirlah ilmu Ushul al-Fiqh. Pada masa Dinasti Abbasiyah dikenal empat ilmuan fiqh atau disebut juga imam mazhab. Para imam mazhab tersebut adalah: (1) Imam Abu Hanifah (699 – 767 M), Imam Abu Hanifah hidup diantara 2 masa, dipenghujung Dinasti Ummayah dan awal Dinasti Abbasiyah, beliau sangat ketat dalam menerima hadis dan sangat kritis. Dasar pokok mazhabnya adalah Al-Quran, hadis, ijma’, qiyas dan istihsan. Diantara karya beliau dalam bidang fiqh adalah al-Fiqh al-Akbar; (2) Imam Malik (716-795 M) selain mahir dalam ilmu fiqh, Imam Malik juga menguasai ilmu kalam dalam karyanya al-Muwaththa; (3) Imam Syafi’i (767-820 M) karya tulisannya yang terkenal yaitu al-Umm dan al-Risalah; (4) Imam Hanbali (780 – 855 M) beliau merupakan salah satu murid dari Imam Syafi’I, beliau tidak menulis kitab fiqh, melainkan para muridnya yangn menghimpun pemikirannya dikemudian hari. Meskipun begitu beliau dikenal sebagai penulis kitab hadis Musnal Ahmad bin Hanbal yang memuat 40.000 hadis.

Ilmu Tasawuf:

Kecenderungan pemikiran yang bersifat filsofis menimbulkan gejolak pemikiran diantara umat islam, sehingga banyak diantara pemikir Islam mencoba mencari bentuk Gerakan pemikiran lain, seperti tasawuf. Situasi politik pada masa itu menyebabkan banyak ulama Islam mencari jalan menju Tuhan melalui pendekatan tasawuf dengan pendekatan maqam. Para sufi meninggalkan kenikmatan dunia dan kegiatan mereka hanya beribadah kepada Allah SWT. Tahapan (maqam) yang dilalui olehpara sufi yaitu: Zuhud (kehidupan yang telah terbebas dari materi duniawi, Muhabbah (rasa cinta yang sangat dalam kepada Allah SWT, Ma’rifat (pengalaman ketuhanan), Fana dan Baqa (suatu keadaan dimana seorang sufi belum dapat menyatukan dirinya dengan Tuhan sebelum menghancurkan dirinya), Ittihad dan Hulul (fase dimana seorang sufi sudah merasakan dirinya Bersatu dengan Tuhan) Hulul adalah fase dimana Tuhan dalam pandangan kaum sufi sudah bersemayam dalam diri manusia. Tokoh tokoh sufi yang terkenal yaitu: Abu Hasyim, Rabi’ah al-Adawiyah, Zun Nun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, Al-Hallal dan al-Ghazali dengan karya besarnya Ihya Ulum al-Din.[6]

c.     Kemajuan dalam bidang sosial budaya.

Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Dinasti Abbasiyah telah banyak memberikan sumbangsih positif bagi pengembangan pengetahuan dan peradaban Islam dan bidang lainnya seperti sosial budaya. Diantara kemajuan sosial budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial Masyarakat yang majemuk membawa dampak posited dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Karena dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki dinasti ini sehingga bisa digunakan untuk memajukan bidang sosual budaya. Diantara kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota dan lain sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembanguanan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara banguan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra.[7]

D.             Kemajuan Dalam Bidang Ekonomi dan Politik

Perbedaan yang terlihat dari Dinasti Umayyah dengan Dinasti Abbasiyah terlihat pada orientasi kebijakan yang dikeluarkan. Pemerintah Dinasti Umayyah orientasi kebijakan yang dikeluarkan selalu pada upaya perluasan wilayah kekuasaan, sedangkan pemerintahan Dinasti Abbasiyah lebih fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Sehingga masa pemerintah ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam. Walaupun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan hal penting yang harus dilakukan. Oleh karena itu, pemeritahan Dinasti Abbasiyah memperbaharui system politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran. Supaya semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yaitu diwanul jundi. Departemen ini yang mengatur semua yang berkaitan dengan militer dan pertahanan keamanan, pembentukan Lembaga ini didasari atas kenyataan politik militer bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah banyak terjadi pemberontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha untuk memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

Untuk sektor ekonomi pada dinasti Abbasiyah mengalami perkembangan pesat, yaitu dengan membangun system perdagangan, industry dan pertanian. Pemindahan ibukota dari Damaskus ke Bagdad untuk mempermudah pengawasan di jalur perdagangan melalui Sungai Efrat dan Tigris. Selain itu tanah yang subur di Bagdad bisa digunakan untuk memproduksi hasil pertanian yang melimpah. Hal ini bisa meningkatkan kas negara yang sangat besar. Untuk menunjang hasil pertanian yang baik, pemerintah membangun kanal, irigasi dan saluran air sehingga dinasti Abbaisyah menjadi pemasok hasil pertanian seperti gandum, padi, kurma, wijen dan kapas.

E.             Kehancuran Dinasti Abbasiyah

Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah terjadi pada fase kelima pemerintahan, yaitu pada tahun 590 H – 656 H (1194 M – 1258 M). pada fase ini pemerintahan semakin lemah dan menurun. Hal ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor, yang terbagi menjadi faktor internal dan factor external.

Faktor internal:

1.          Perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan

Khilafah Abbasiyah awalnya didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang – orang Persia. Persekutuan ini dilatarbelakangi oleh persamaan nasib, kedua golongan ini sama – sama tertindas ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa. Setelah khalifah Abbasiyah berdir, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan Persekutuan ini. Kedua kubu ini saling berselisih karena kecenderungan masing – masing ingin berkuasa. Orang Persi menginginkan dinasti dengan raja dan pegawai dari Persi. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah darah istimewa dan menganggap bangsa non-Arab lebih rendah. Perselisihan sudah dirasakan sejak awal berdirinya Dinasti Abbasiyah, tapi fanatisme kebangsaan ini tampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa.

Setelah al-Mutawalil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat. Mereka dapat menentukan siapa yang diangkat menjadi khalifah dan itu menyebabkan Dinasti Abbasiya menjadi sangat lemah dan kekuasaan telah beralih ke tangan bangsa Turki. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah kemudian direbut oleh Bani Buwai, Persia. Kemudian kekuasaan beralih ke Bani Seljuk, Turki pada periode keempat (447-590 H)[8]

2.          Munculnya dinasti – dinasti kecil yang memerdekakan diri

Wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah pada periode pertama sampai masa keruntunan sangatlah luas, yang meliputi Maroko, Mesir, Syira, Irak, Persia, Turki dan India. Namun, kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah melainkan berada dibawah kekuasaan gubernur yang bersangkutan.

 Hubungan dengan khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti, khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk sehingga tingkat saling percaya dikalangan penguasa dn pelaksana pemerintahan sangat rendah. Para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dibanding politik dan ekspansi wilayah. Selain itu, banyak daerah – daerah yang memerdekakan diri karena terjadi kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh Persia dan Turki, sehingga mengakibatkan beberapa provinsi dipinggiran mulai lepas dari Dinasti Abbasiyah.

3.              Kemerosotan perekonomian

Pada periode pertama, pemerintahan DInasnti Abbasiyah termasuk pemerintahan yang kaya, perekonomian Masyarakat sangat maju, utamanya di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Seiring dengan masa kemuduran politik perekonomian juga ikut mudur. Pendapatan negara menjadi menurun karena semakin sempitnya wilayah kekuasaan serta banyaknya kerusuhan yang menyebabkan terganggunya perekonomian rakyat. Sementara pengeluaran sangat besar karena kehidupan para khalifah dan pejabat yang mewah dan terjadi korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara menjadi terpuruk sehingga memperlemah kekuatan politik dinasiti Abbasiyah.

4.              Munculnya aliran sesat dan fanatisme keagamaan

Sebagian dari orang-orang Persia mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme sebab cita-cita mereka tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini kemudian menggoda rasa keimanan para khalifah. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlangsung mulai dari bentuk yang sederhana seperti polemik tentang ajaran hingga konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Selain itu, terjadi pula konflik dengan aliran Islam lainnya, sepeti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah yang menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara.

Faktor external:

1.          Perang salib

Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam. Kebencian tersebut bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah ke sana. Karena itulah, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada umat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yaitu Perang Salib. Perang salib yang berlangsung dalam beberapa periode banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilayah Islam. Setelah melakukan peperangan di tahun 1097-1124 M, mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Baqdis, Akka, Tripoli, dan kota Tyre.

2.          Serangan Mongolia

Orang Mongolia merupakan bangsa yang berasal dari Asia Tengah, sebuah kawasan terjauh di China, terdiri dari kabilah – kabilah yang disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). sebagai awal kehancuran Baghdad dan khilafah Islam, tentara Mongol mulai menguasai negara Asia Tengah, Khurasan dan Persia. Mereka berhasil menaklukkan negara Khawarizm dan menguasai Asia Kecil. Kemudian, Hulagu Khan mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak supaya tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Akan tetapi, Khalifah tetap enggan memberikan jawaban sehingga di awal tahun 1258 M, Hulagu Khan menghancurkan tembok ibu kota. Hulagu Khan beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang. Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu'tashim menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.

F.             Kesimpulan

Dinasti Abbasiyah terbentuk sejak runtuhnya kekuasaan Bani Ummayah di Damaskus. Masa keemasan Dinasti Abbasiyah mengalami masa keemasan pada masa pemerintaan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, Khalifah Harun ar-Rasyd dan Khalifah Abdullah al-Makmun.

Masa pemerintahan terdiri dari lima fase, yaitu: fase pertama pembentukan atau dikenal dengan masa kebangkitan dan pencerahan, fase kedua dikenal dengan pengaruh kekuasaan Turki pertama, fase ketiga dikenal dengan masa disintegrasi dalam Dinasti Abbasiyah dan Muluk Tawaif di Dinasti Ummayah II Andalusia, fase keempat disebut dengan fase kekuasaan Bani Saljuk atau disebut juga dengan fase pengaruh Turki kedua, pada fase ini sudah mulai terjadi perang salib, fase kelima dikenal dengan fase terlemah dan sampai kehancuran kekuasaan Dinasti Abbasiyah dimana Mongolia menyerah Abbasiyah dengan sangat kejam dan mengakibatkan berakhirnya kegemilangan peradaban Islam

Kehancuran Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh faktor internal dan external disebabkan dengan adanya perang Salib dan penyerangan dari Mongolia.

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Anwar Sewang, Sejarah Peradaban Islam, Sulawesi Selatan, 2017

Bahroin Suryantara, Sejarah Kebudayaan Islam,Jakarta: Yudhistira, 2010

Berliana Intan Maharani, Penyebab runtuhnya dinasti abbasiyah (https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6599357/penyebab-runtuhnya-dinasti-abbasiyah-dinasti-kedua-dalam-sejarah-islam) Diakses pada tanggal 26 September 2023, pukul 13.00 Wib

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Jakarta: PT Grasindo, 2002

 

M. Daud Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Buku Publisher, 2009

 

Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2010

 

 



[1] Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam (Jakarta: Grasindo, 2002), hal. 27

[2] M. Daud Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta, Pustaka Buku Publisher, 2009), hal. 143

[3] Anwar Sewang, Sejarah Peradaban Islam (Sulawesi Selatan, 2017), hal.  214

[4] Bahroin Suryantara, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Yudhistira, 2010), hal. 12.

[5] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: Karya Toha Putra), hal. 107

[6] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: Karya Toha Putra, 2010), hal. 117.

[7] Anwar Sawang, Sejarah Peradaban Islam (Malang: Wineka Media, 2017), hal. 222.

[8] Berliana Intan Maharani, Penyebab runtuhnya dinasti abbasiyah (https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6599357/penyebab-runtuhnya-dinasti-abbasiyah-dinasti-kedua-dalam-sejarah-islam) Diakses pada tanggal 26 September 2023, pukul 13.00 Wib

HADIS TENTANG PENDIDIKAN AGAMA (Iman, Islam dan Ihsan)

 

A.    PENDAHULUAN

Al – Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan mempunyai bahasa yang tinggi dan ayat – ayatnya tidak selalu bisa dipahami hanya melalui terjemahan. Salah satu cara untuk memperjelas isi dari al – Quran adalah dengan menggunakan hadist atau sunah yang berupa semua perbuatan, perkataan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang mana beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk menyampaikan setiap wahyu kepada umat manusia.

Hadist adalah perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW yang sampai sekarang masih menjadi pedoman bagi umat manusia sedangkan al – Quran merupakan wahyu dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dan kemudian disampaikan kepada sahabat. Al – Quran adalah salah satu mukjizat dan tidak ada perubahan sedikitpun sejak zaman Nabi Muhammad sampai sekarang ini. Berbeda dengan hadits yang pada umumnya disampaikan dengan redaksi sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi Saw. Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadits bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadits, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadits hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in.

Walau dengan demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadits kerana sekian banyak faktor baik pada diri Nabi, para sahabat dan periwayatnya yang saling mendukung sehingga terpelihara hadits-hadits Nabi Saw. Hadits merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Al-Qur’an sebagai pegangan hidup setiap muslim sebab ia mempunyai kedudukan yang sama dalam mengamalkan ajaran Islam. Tanpa hadits, ajaran Al-Qur’an tidak dapat dilaksanakan.

Salah satu hadits pendidikan yang hampir mencakup semua aspek pendidikan adalah hadits kedatangan malaikat Jibril ketika menemui Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Umar bin Khatab dan Abu Hurairah, radhiyallahu „anhuma. Hadits Jibril adalah sebuah hadits yang memuat definisi tentang Islam, Iman, Ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat menurut akidah umat Islam. Selain itu juga hadits ini mengajarkan kepada kita tentang majelis ilmu, materi pembelajaran dan metode pembelajaran.

 

 

 

 

 

B.    PEMBAHASAN

1. Hadis dan Terjemahan

 عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ

                                                                                                                                                                           [1]. ( رواه مسلم  )

Artinya:                                                                                                    

Umar bi Khattab RA berkata: Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah SAW. Tiba – tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda – tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam. ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.

Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar. ”Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”

Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”

Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”

Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”

Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”

Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”

Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim].

2.     Kajian Hadis yang Setema

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: (بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ) ِرَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Artinya:

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Islam itu dibangun di atas lima dasar: persaksian (syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji (ke Baitullah) dan puasa di bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

 

 

3.     Mufradat Hadis

No

Mufradat

Kalimat

Arti

1

عَنْ

Huruf Jar

Dari

2

عُمَرَ

Isim Alam

Umar (Nama Orang)

3

رَضِيَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Meridhai

4

اللهُ

Isim Alam

Allah

5

عَنْهُ

Huruf dan Isim Dhamir

Daripada-nya

6

أَيْضاً

Masdar

Juga

7

قَالَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Berkata

8

بَيْنَمَا

Dharaf Zaman

Ketika

9

نَحْنُ

Isim Dhamir

Kami

10

جُلُوْسٌ

Masdar

Duduk

11

عِنْدَ

Dharaf Makan

Disisi

12

رَسُوْلِ

Masdar

Utusan

13

صَلَّى

Fi’il Madhi Ma’ruf

Melimpahkan Rahmat

14

عَلَيْهِ

Huruf Jar dan Isim Dhamir

Diatasnya

15

وَ

Huruf ‘Athaf

Dan

16

سَلَّمَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Mensejahterakan

17

ذَاتَ

Dharaf

Suatu

18

يَوْمٍ

Dharaf zaman

Hari

19

إِذْ

Huruf Fujaiyah

Tiba-tiba

20

طَلَعَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Datang

21

عَلَيْنَا

Huruf Jar dan Isim Dhamir

Diatas Kami

22

رَجُلٌ

Isim Jamid (mufrad)

Seorang laki-laki

23

شَدِيْدُ

Isim Fa’il

Yang sangat

24

بَيَاضِ

Isim Jamid

Putih

25

الثِّيَابِ

Isim Jamid

Pakaian

26

سَوَادِ

Isim Jamid

Hitam

27

الشَّعْرِ

Isim Jamid

Rambut

28

لاَ

Huruf nafi

Tidak

29

يُرَى

Fi’il Mudhari’ Majhul

Dilihatkan

30

أَثَرُ

Isim Jamid

Bekasan

31

السَّفَرِ

Masdar

Perjalanan

32

يَعْرِفُ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Mengenalnya

33

مِنَّا

Huruf Jar dan Isim Dhamir

Dari kami

34

أَحَدٌ

Isim ‘adad

Seorang

35

حَتَّى

Huruf Ibtida’

Sehingga

36

جَلَسَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Duduk

37

إِلَى

Huruf Jar

Kepada

38

النَّبِيِّ

Isim Fa’il

Nabi

39

فَ

Huruf ‘Athaf

Maka

40

أَسْنَدَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Menyandarkan

41

رُكْبَتَيْهِ

Isim Jamid dan Isim Dhamir

Dua Lututnya

42

وَضَعَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Meletakkan

43

كَفَّيْهِ

Isim Jamid dan Isim Dhamir

Dua Telapak Tangannya

44

عَلَى

Huruf Jar

Diatas

45

فَخِذَيْهِ

Isim Jamid dan Isim Dhamir

Dua Pahanya

46

يَا

Huruf Nida’

Wahai

47

مُحَمَّد

Isim ‘Alam

Muhammad

48

أَخْبِرْ

Fi’il Amar

Khabarkanlah

49

يْ

Isim Dhamir

Akan Aku

50

الإِسْلاَمِ

Masdar

Islam

51

أَنْ

Huruf Menasabkan Fi’il Mudhari’

Bahwa

52

تَشْهَدَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Bersaksi

53

إِلَهَ

Isim Jamid

Tuhan

54

إِلاَّ

Huruf Istisna

Kecuali

55

تُقِيْمَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu dirikan

56

الصَّلاَةَ

Isim Masdar

Shalat

57

تُؤْتِيَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Tunaikan

58

الزَّكاَةَ

Masdar

Zakat

59

تَصُوْمَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Puasa

60

رَمَضَانَ

Isim ‘Alam

Bulan Ramadhan

61

تَحُجَّ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Haji

62

الْبَيْتَ

Isim Jamid

Ka’bah

63

إِنِ

Huruf Syarat

Jika

64

اسْتَطَعْتَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Kamu Sanggup

65

إِلَيْهِ

Huruf Jar dan Isim Dhamir

Kepadanya

66

سَبِيْلاً

Isim Jamid

Jalan

67

صَدَقْتَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Kamu Benar

68

عَجِبْنَا

Fi’il Madhi Ma’ruf

Kami Heran

69

لَهُ

Huruf Jar dan Isim Dhamir

Baginya

70

يَسْأَلُ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Dia Bertanya

71

يُصَدِّقُ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Dia Benarkan

72

اْلإِحْسَانِ

Masdar

Ihsan

73

تَعْبُدَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Sembah

74

كَأَنَّ

Huruf Menasab Isim

Seolah-olah

75

تَرَا

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu lihat

76

لَمْ

Huruf Nafi

Tidak

77

تَكُنْ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Ada kamu

78

يَرَا

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Ia Melihat

79

السَّاعَةِ

Isim Jamid

Kiamat

80

الْمَسْؤُوْلُ

Isim Maf’ul

Orang yang ditanya

81

أَعْلَمَ

Isim Tafdhil

Lebih Mengetahui

82

السَّائِلِ

Isim Fa’il

Orang yang bertanya

83

أَمَارَاتِ

Isim Jamid

Tanda-tanda

84

تَلِدَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Melahirkan

85

اْلأَمَةُ

Isim Jamid

Budak Perempuan

86

رَبَّةَ

Isim Jamid

Tuan

87

الْحُفَاةَ

Isim Fa’il (Jama’)

Para Telanjang kaki

88

الْعُرَاةَ

Isim Fa’il (Jama’)

Para Telanjang badan

89

الْعَالَةَ

Isim Fa’il (Jama’)

Orang Miskin

90

رِعَاءَ

Isim Fa’il (Jama’)

Para Pengembala

91

الشَّاءِ

Isim Jamid (Jama’)

Kambing

92

يَتَطَاوَلُوْنَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Berlomba-lomba

93

الْبُنْيَانِ

Masdar

Bangunan

94

انْطَلَقَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Ia Pergi

95

لَبِثْتُ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Aku Berdiam

96

مَلِيًّا

Isim Jamid

Waktu yang lama

97

عُمَرَ

Isim ‘Alam

Umar

98

أَ

Huruf Istifham

Adakah

99

تَدْرِي

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Tahu

100

قُلْتُ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Aku Jawab

101

جِبْرِيْلُ

Isim ‘Alam

Jibril

102

أَتـَا

Fi’il Madhi Ma’ruf

Ia Datang

103

كُمْ

Isim Dhamir

Kamu

104

يُعَلِّمُ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Ia Mengajarkan

105

دِيْنَ

Isim Jamid

Agama

106

روا

Fi’il Madhi Ma’ruf

Meriwayatkan

107

مسلم

Isim ‘Alam

Perawi Muslim

 

4.     Takhkrij Hadis

Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.

 

Hadits ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Baari (I/115-116), yaitu :

Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).

Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).

Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).

Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).

Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)[2]

 

5.     Penjelasan (syarah)

Ada 4 hal yang menjadi fokus dalam penjelasan hadis tersebut diatas, yaitu:

1)       Keadaan Nabi Muhammad dan Sahabat pada saat Jibril datang

Salah satu metode menyampai ilmu oleh Rasulullah yaitu melalui majelis taklim, suatu masa Rasulullah sedang duduk dengan para sahabat di mesjid dalam suatu majelis taklim, Rasulullah meminta sahabat untuk bertanya , tapi sahabat enggan untuk bertanya kepada Rasulullah. Tiba – tiba datang seorang laki – laki masuk kedalam majlis taklim tersbut. Para sahabat yang hadir dalam majlis merasa heran melihat seorang laki-laki itu. Mereka heran disebabkan mereka tidak ada yang mengenalnya dan tiba-tiba langsung masuk dalam majlis tersebut dan mendekati Rasulullah saw. duduk berhadap-hadapan tanpa ada jarak. Lutut mereka berdua bersentuhan dan beradu karena dekatnya laki-laki tersebut dan meletakkan kedua tangannya di atas paha Rasulullah saw.[3]

Para sahabatpun saling berpandangan satu sama lainnya disebabkan kebingungan dan keheranan, mereka bertanya-tanya siapa gerangan lelaki ini, karena satupun di antara mereka tidak ada yang mengenalinya. Kebingungan mereka semakin bertambah ketika lelaki tersebut bertanya kepada Rasulullah saw. dan ketika nabi menjawab pertanyaannya diapun membenarkannya. Salah seorang sahabat tidak ada satupun yang berani bertanya dan menyela seorang lelaki tersebut hingga lelaki itu berlalu dari majlis. Keadaan Rasulullah saw, dalam majlis tersebut adalah dalam keadaan duduk sejajar dengan para sahabat tanpa ada tempat khusus yang membedakannya. Sehingga beliau tidak dapat melihat siapa saja yang hadir dalam majlis tersebut hingga ke belakang. Sejak itu para sahabat bermohon izin kepada Nabi agar membuat tempat duduk untuknya supaya Nabi dapat melihat siapa saja yang hadir mengikuti majlisnya. Atas dasar itu maka Al – Qurtubi menyimpulkan bahwa disunnahkan bagi seorang guru untuk membuat tempat duduk lebih tinggi dari murid-muridnya. Inilah yang diamalkan di masyarakat ketika dalam sebuah pengajian-pengajian dan di sekolah-sekolah bahwa tempat duduk gurunya berbeda dengan tempat duduk dari murid. Baik itu dari segi ukuran tingginya atau bentuk dan lainnya.

 

2)    Keadaan Jibril ketika datang pada majelis tersebut

Jibril datang kepada Rasulullah dengan berjalan kaki tanpa menunggang kuda dalam wujud seorang laki – laki yang tampan (berwujud manusia)[4] dan berpakaian berwarna putih. Tidak seorangpun sahabat yang mengenalnya, sesampainya di majelis, Jibril langsung duduk dekat Rasulullah, menempelkan lututnya dan menopangkan tangannya pada nabi dan berdialog dengan mengucapkan lafad salam. Bertujuan untuk mengajari sahabat nabi tentang agamanya.

Mengenai apakah Jibril mengucapkan salam kepada Rasulullah atau tidak, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Tetapi yang paling rajih adalah mengucapkan salam, sebagaimana Hadis dan riwayat an-Nasa’i dan al-Bazzar tersebut. Dalam hal in al-Qurtubi mengatakan bahwa disunnahkan untuk mengucapkan salam ketika memasuki suatu majlis secara umum dan mengucapkan salam secara khusus kepada orang yang ditemui dalam majlis tersebut.[5]

Pakaian jibril yang berwarna putih melambangkan kesucian dan kesederhanaan, hal ini menunjukkan bahwa agama Islam sangat mengajarkan tentang kesucian dan kesederhanaan.

Posisi duduk Malaikat Jibril dipahami seperti seorang murid, akan tetapi perbuatan meletakkan tangan di paha Rasulullah bertujuan untuk menarik perhatian agar orang-orang mendengarkannya. Disamping itu hadits ini juga mengindikasikan agar seorang yang ditanya tentang suatu permasalahan bersikap rendah diri dan simpatik terhadap orang yang menanyakan pertanyaan.

3)    Materi dialog antara Jibril dan Nabi Muhammad SAW

Terjadi perbedaan pendapat ulama tentang urutan pertanyaan tentang iman, islam dan ihsan, dari ketiga hal tersebut yang mana yang duluan disebutkan. Sebenarnya ini adalah satu hadis dan perbedaan ini disebabkan oleh periwayat yang meriwayatkannya berbeda beda tentang pertanyaan iman dan islam. Sebagian berpendapat bahwa pertanyaan yang duluan adalah tentang iman karena iman adalah dasar pokok agama, pertanyaan selanjutnya adalah tentang islam karena islam sebagai ciri keyakinan atas apa yang dinyatakan dan diyakini. Selanjutnya adalah ihsan karena ihsan tergantung kepada iman dan Islam. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa pertanyaan pertama adalah Islam karena ini berhubungan dengan masalah zahiriah dan pertanyaan kedua adalah iman, karena ini berhubungan dengan bathiniah.

Abu ‘Amr bin as-Salah mengatakan bahwa; berdasarkan apa yang kami sebutkan dan buktikan, muncul pemahaman bahwa iman dan Islam dapat terkumpul dan terpisah. Setiap mukmin adalah muslim, tetapi tidak setiap muslim adalah mukmin.[6] Apabila disebutkan islam dan iman secara bersamaan maka maknanya berbeda tetapi kalau disebutkan secara sendiri-sendiri maka maknanya sama.[7] Maksudnya adalah apabila dikatakan islam saja maka disitu tergabung dengan iman dan sebaliknya apabila disebutkan iman saja maka disitu sudah tergabung islam. Tetapi kalau dikatakan dua-duanya maka maknanya berbeda-beda. Kalau dikatakan Islam dan iman maka maksudnya adalah islam dari segi lahir sementara iman dari segi batin. Ini menunjukkan bahwa konteks Hadis ini tidaklah menunjukkan urutan,[8] tetapi yang jelas konteks Hadis ini adalah untuk menjelaskan kepada para sahabat tentang ajaran agama.

4)    Penjelasan terhadap materi yang menjadi dialog antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad SAW.

Ada 4 materi yang menjadi pembahasan dalam hadis ini, yaitu:

a.     Islam

Islam menurut bahasa maknanya tunduk dan berserah diri kepada Allah. Sedang menurut istilah Islam adalah melaksanakan lima amalan pokok, yaitu: bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah. Menegakkan shalat lima waktu pada waktunya, dengan menyempurnaka syarat dan rukunnya, serta memenuhi sunnah dan adab-adabnya. Membayar zakat, puasa Ramadhan dan berhaji kepada Baitullah sekali dalam hidupnya bagi siapa saja yang mampu melaksanakannya.

An – Nawai dalam menjelaskan kalimat “menyebah Allah dan tidak mensekutukan-Nya,” mengatakan bahwa ibadah itu adalah taat dan khudu’. Maksud ibadah disini adalah mengenal Allah dan mengesakan-Nya.

Ditambahkan dengan mendirikan salat dan seterusnya disini sebagai islam adalah karena keberadaanya sebagai syiar yang tampak. Sementara ibadah lainnya hanya ikut gemerlap ibadah yang ada dalam rukun islam tersebut.[9] Itulah sebabnya ketika seseorang yang mau masuk Islam wajib mengucapkan kalimat syahadat sebagai rukun utama atau fondasi. Adapun sembahyang dan lainya diumpamakan seperti bangunan dan menunjukkan kesempurnaan Islamnya dan ketika meninggalkan salah satunya diantara itu maka menunjukkan lemah keislamannya.

b.     Iman

Iman secara bahasa artinya At Tashdiq (membenarkan) dengan hati. Sedangkan secara istilah adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT adalah zat yang satu, esa, sendiri, tempat bergantung, tidak mempunyai istri dan anak. Dia Rabb segala sesuatu dan pemiliknya, tidak ada sekutu didalam kekuasaan-Nya. Dialah Al-Khaliq (yang menciptakan), Ar-Raziq (pemberi rizki), Al-Mu’thi (Pemberi anugrah), Al-Maani’ (Penahan pemberian), Al-Muhyi (Yang menghidupkan), Al-Mumit (Yang mematikan), sekaligus yang mengatur seluruh urusan makhluk-Nya. Termasuk beriman kepada Allah adalah beriman dengan segala apa yang Dia kabarkan dalam Al-Qur`an, atau yang diceritakan oleh Rasul-Nya tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan bahwasanya Dia tidak sama dengan makhluk-Nya dan bagi-Nya kesempurnaan mutlak dalam hal sifat dan nama-nama tersebut, dengan menetapkannya untuk-Nya tanpa tamtsil (menyerupakannya) dan menyucikannya tanpa ta’thil (menghilangkan maknanya).

Al-Bukhari mengatakan “bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan. Bahkan seluruh ahli hadis, sahabat, tabiin, Malik, asy-Syafi’i dan Hanbali juga berpendapat demikian.”[10] Lebih jelas lagi an-Nawawi mengatakan bahwa; “iman yang berhak disandang seorang mukmin itu adalah apabila ia mampu mendatangkan ketiga unsur berikut, yaitu membenarkan dalam hati diucapkan dengan lisan dan diamalkan anggota badan.[11]

Meyakini dengan kuat bahwa Allah memiliki para malaikat yang diciptakan dari cahaya, mereka tidak pernah membantah perintah-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.

 

Membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul-Nya untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya dengan kebenaran yang nyata serta petunjuk yang jelas. Dan bahwasanya ia adalah Kalam Allah yang Dia firmankan dengan sebenarnya sebagaimana yang Dia kehendaki dan menurut apa yang Dia inginkan.

Membenarkan dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyeru mereka untuk beribadah hanya kepada-Nya semata, tanpa menyekutukan-Nya dan untuk kafir kepada segala sembahan selain-Nya. Serta keyakinan bahwa semua Rasul adalah benar, mulia, luhur, mendapat petunjuk dan menunjuki orang lain. Mereka telah menyampaikan apa yang karenanya mereka diutus oleh Allah, tanpa menyembunyikan atau mengubahnya sedikitpun.

Meyakini dengan pasti kebenaran setiap hal yang diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab suci-Nya dan setiap hal yang diberitakan oleh Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari apa yang akan terjadi sesudah mati, seperti fitnah kubur, adzab dan nikmat kubur, serta apa yang terjadi sesudah itu berupa kebangkitan dari kubur, mahsyar (tempat berkumpul di akhirat), shuhuf (catatan amal), hisab (perhitungan), mizan (timbangan), haudh (telaga), shirath (titian), syafa’at (pertolongan), Jannah dan Naar serta apa-apa yang dijanjikan Allah SWT bagi para penghuninya.

c.     Ihsan

Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalimat ini kata Ibn ‘Attar adalah termasuk jawami’ al-kalim.” [12] Makna ihsan di dalam Hadis ini adalah ihsan dalam ibadah, sedangkan bentuk ihsan dalam ibadah adalah ikhlas, khusyu' dan berkonsentrasi penuh pada saat melaksanakannya, dan yakinlah bahwa engkau selalu dipantau oleh Allah SWT. Atas dasar itu, jika engkau tidak dapat melihat-Nya senantiasalah beribadah, karena Dia selalu melihatmu. Baguskanlah amalanmu yang tidak tampak dan usahakan jangan sampai melakukan sesuatu yang bisa merusak amalanmu. Ikhlas itu dari sisi maknanya adalah murni, suci, tidak bercampur, bebas, jernih atau bersih dari pencemaran.[13] Demikian juga halnya berislam dan beriman kepada Allah mesti murni dan suci  sebagaimana makna dari ikhlas tersebut. Ketika seseorang beriman dan berislam dengan bercampur dengan unsur lain maka tentunya keimanan dan keislamannya tidak diterima. Karena hal itu menyebabkan seseorang menjadi musyrik dan musyrik itu adalah dosa besar yang merusak keimanan dan keislaman seseorang. Dari sisi medis, ketika seseorang melakukan ihsan (ikhlas) dalam berbuat atau beramal maka kamu akan bahagia. Ketika seseorang bahagia maka itu akan memunculkan zat endorphin dalam tubuh seseorang yang akan menambah imunitas. Sebaliknya seseorang yang melakukan amalan dengan tidak ikhlas maka ia akan merasa terbebani dan tidak bahagia dan ketika seseorang terbebani dan tidak bahagia maka akan timbul stress dan lain sebagainya yang akan menimbulkan berbagai penyakit.

d.     Hari kiamat

Ketika Jibril bertanya kepada Nabi tentang kapan terjadinya hari kiamat beliau mengatakan bahwa tidaklah yang ditanya lebih tahu dari yang bertanya. An-Nawawi[14] dalam menjelaskan kalimat ini mengatakan; “bahwa siapa saja yang ditanya dan dia tidak tahu jawabannya maka janganlah malu untuk mengatakan bahwa saya tidak tahu.” “Karena kejujurannya itu tidaklah menjatuhkan harga dirinya.” Akan tetapi hal itu merupakan keagungan, daripada memaksakan diri untuk menjawabnya padahal jawabannya bisa saja sesat dan menyesatkan anak didiknya.

Pada dasarnya seorang yang bertanya adalah karena dia tidak tahu. Akan tetapi bagi orang yang sudah tahu juga boleh mengajukan pertanyaan kepada seorang guru dengan tujuan untuk memberi tahu kepada yang lainnya yang belum tahu bukan untuk mengetes atau menguji kemampuan seorang guru. Hal ini dipahami soal jawab antara Jibril dengan Nabi tentang iman, islam dan ihsan. Dalam Hadis tersebut Jibril bertanya kepada Nabi padahal Jibril sudah tahu tentang hal itu. Akan tetapi Jibril bertanya kepada Nabi adalah untuk memberitahu kepada sahabat yang hadir dalam majlis tersebut.[15]

Begitupun Rasulullah menyampaikan kepada Jibril tentang tanda-tanda terjadinya hari kiamat tersebut. Setelah diminta oleh Jibril untuk menyampaikan ciri-cirinya. Di antaranya yang pertama adalah apabila seorang hamba melahirkan tuannya. Dalam memahami kalimat ini para ulama berbeda pendapat. Perbedaan tersebut menurut al-‘Asqalani[16] ada tujuh dan dia meringkasnya dalam empat pendapat sebagai berikut; “pertama, pendapat al-Khattabi, yaitu semakin “meluasnya negara Islam dan ditaklukkannya negara – negara musyrik dan menahan tawanan mereka, sehingga para tuan memiliki budak perempuan yang melahirkan anaknya. Maka anak yang dilahirkan budak itu sama posisinya dengan tuannya, karena dia adalah anak tuannya.” “Kedua, para tuan tersebut menjual para budak perempuan (ibu dan anak) mereka.” “Ketiga, pendapat an-Nawawi, yaitu seorang budak melahirkan seorang anak dari orang yang merdeka dengan hubungan yang syubhat atau dengan sesama budak baik dengan nikah yang sah maupun tidak. kemudian budak tersebut diperjualbelikan dan terus berputar kepemilikannya sampai akhirnya dia dibeli oleh anaknya.” Keempat, dan ini menurut pemakalah yang terjadi pada masa sekarang ini, yaitu banyaknya kedurhakaan terhadap orangtua sehingga seorang anak memperlakukan orangtuanya seperti budaknya dengan memaki, memukul bahkan menjadikannya sebagai pembantunya.

Tanda yang kedua akan terjadinya hari kiamat adalah “kalau kamu telah menyaksikan orang-orang yang tidak beralas kaki dan tidak berbusana dari kalangan orang-orang melarat penggembala domba saling berlomba-lomba mendirkan bangunan yang tinggi.” Al-Qurtubi mengatakan bahwa maknanya adalah; “berubahnya kondisi, yaitu orang-orang badui menguasai negara dengan kekerasan sehingga harta mereka melimpah.” “Kemudian perhatian mereka beralih kepada pembangunan gedung-gedung dan membanggakannya, dan inilah yang terjadi sekarang ini.”63 Pernyataan ini dikuatkan oleh hadis yang mengatakan; “tidak akan terjadi hari kiamat hingga orang yang paling Bahagia di dunia menjadi orang yang paling hina. Dan hadis lain yang menjelaskan jika suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggu saja kehancurannya.”[17]

6.     Penjelasan yang Dipetik dari Hadis

Ada banyak sekali hikmah dari hadits ini yang menjadi pelajaran untuk kita semua, diantara hikmah tersebut adalah:

1)    Dalam hadis ini mengajarkan kepada kita tentang etika menanyakan suatu pertanyaan. Bagi orang – orang yang hadir dalam majelis ilmu dan melihat ada beberapa orang ingin mengetahui suatu hal tapi pertanyaan tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya dia menanyakan walapun sudah mengetahuinya agar orang lain yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawabn yang diberikan. Apabila orang yang ditanya kepadanya tentang suatu hal dan dia tidak mengetahui jawabnnya, maka hendaklah jujur akan ketidaktahuannya supaya tidak terjerumus kepada hal – hal yang tidak diketahui.

2)    Islam, Iman dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Islam adaalah satu-satunya agama yang diakui Allah di sisi-Nya, sedangkan Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah Islam. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah dan barometer tingkat keimanan dan ketaqwaan seorang hamba. Maka Islam tidak sah tanpa Iman, dan iman pun tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan iman pun tidak akan terwujud tanpa adanya Islam.

3)    Hadis ini juga mengajarkan kepada kita bahwa metode tanya jawab bagus digunakan sehingga ummat bisa mengetahui jawaban – jawaban yang diberikan dan semangat dalam belajar.

4)    Seseorang yang hendak mengaji, bertamu atau acara-acara resmi lainnya sangat disunnahkan untuk memperhatikan kondisi pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika menghadap ulama, orang-orang mulia dan penguasa. Dan ini merupakan etika atau adab dalam bepakaian.

5)    Jika seseorang ditanya tentang suatu hal yang memang dia tidak tau jawabannya, maka tidak ada celanya jika ia berkata “Saya tidak tahu“,  dan hal tersebut tidak akan mengurangi kedudukannya.

 

C.    PENUTUP

Mempelajari tentang kehidupan Rasulullah SAW sangatlah menarik karena disetiap yang beliau tunjukkan dan kerjakan menjadi pembelajaran kepada umat. Pelajaran berharga yang dapat diambil dari hadist Jibril ini ialah tidak semua orang yang bertanya itu tidak mengetahuinya. Sikap kepedulian, menjadikan seseorang mau menanyakan untuk orang lain sehingga orang lain akan mendapat pembelajaran dari jawaban yang dsampaikan.

Dari penjelasan hadis jibral, maka jelas bagi kita bahwa islam itu adalah iman, dan iman itu adalah islam. Apabila disebut satu di antaranya maka yang lain juga ikut di dalamnya.“Dengan demikian keimanan yang sebenarnya adalah tasdiq (menerima) di dalam hati bahwa “Tiada Tuhan Selain Allah”.”Selama di dalam hatinya ada tasdiq, walaupun anggota badannya meninggalkan salah satu dari rukun Islam bahkan melakukan dosa besar lainnya sekalipun ia tetap dikatakan beriman. Namun demikian tingkat keimanannya tersebut adalah tingkatan yang paling rendah. Sementara keimanan yang paling sempurna adalah, “tasdiq di dalam hati, diucapkan dengan lidah dan diamalkan anggota badan.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Al-‘Asqalani, Fath al-Bari

 

Siregar, Hadis-hadis Pendidikan (Jakarta, Kencana:2017)

 

Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bahri Sharah Shahih Al Bukhari. Terj. Ghazirah Abdil Ummah (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997)

 

Isma’il bin Muhammad bin Mahi as-Sa’di al-Ansari, At-Tuhfah ar-Rubbaniyyah fi Syarh alArba’in Hadisan an-Nawawiyyah (al-Iskandariyyah: Matba’ah Dar Nasyr as-Saqafah, 1380 H)

 

Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim (Beirut : Dar Ihya' at-Turas al-Arabi, tt.)

Yazid bin Abdul Qadir Jawwaz, Syarah Hadis Jibril Tentang Islam, Iman dan Ihsan (Almanhaj: September 2023), https://almanhaj.or.id/12078-syarah-hadits-jibril-tentang-islam-iman-dan-ihsan-3.html

 

 

 



[1] Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim (Beirut : Dar Ihya' at-Turas al-Arabi, tt.), juz I, h. 36-40

[2] Yazid bin Abdul Qadir Jawwaz, Syarah Hadis Jibril Tentang Islam, Iman dan Ihsan (Almanhaj: September 2023), https://almanhaj.or.id/12078-syarah-hadits-jibril-tentang-islam-iman-dan-ihsan-3.html

[3] Isma’il bin Muhammad bin Mahi as-Sa’di al-Ansari, At-Tuhfah ar-Rubbaniyyah fi Syarh alArba’in Hadisan an-Nawawiyyah (al-Iskandariyyah: Matba’ah Dar Nasyr as-Saqafah, 1380 H), h. 8.

[4] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bahri Sharah Shahih Al Bukhari. Terj. Ghazirah Abdil Ummah (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), hal. 210.

[5] Ibid, hal 212

[6]  Ibn ‘Attar, .Syarah Hadits Arba’in, h. 11, Nawawi al-Jawi, Tanqih al-Qaul, h. 34.

[7]  ‘Abd al-Muhsin, Syarh Hadis Jibril, h. 17.

[8]  Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 117.

[9] An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh, juz I, h. 162.

[10] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 5.

[11] An-Nawawi, al-Minhaj, juz I, h. 147.

[12] Ibn ‘Attar, Syarah Hadits, h. 15.

[13] Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 359.

[14] An-Nawawi, al-Minhaj, juz I, h. 158

[15] Siregar, Hadis-hadis Pendidikan (Jakarta, Kencana:2017) h. 130

[16] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 122-123.

[17] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 123.