DINASTI
ABBASIYAH
A.
Pendahuluan
Berdirinya Dinasti Abbasiyah berawal sejak runtuhnya
kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus. Banyaknya konflik yang terjadi pada
Dinasti Umayyah menjadikan Dinasti Abbasiyah maju menggantikan kepeminpinan
umat islam. Revolusi kepemimpinan Abbasiyah terhadap Umayyah banyak mendapatkan
simpati dari Masyarakat, terutama dari kalangan Syi’ah. Dukungan ini disebabkan
karena janji untuk menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktekkan oleh
Khulafaurrasyidin. Nama Dinasti
Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Muhammad yang bernama al –
Abbas ibn Abd al – Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al
-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al – Abbas.
Peradaban Islam
mengalami pucak kejayaan pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Perkembangan ilmu
pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama
yang berbahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu
dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai
buah dari kebebasan berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang
paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli Sejarah tidak
meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemnerintahan Dinasti Abbasiyah
dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.
Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan
publik, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam. Terutama dalam
bidang ilmu pengetahuan, Pada masa inilah, pertama kalinya dalam sejarah
terjadi kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat dan menjadi suatu dinasti
paling terkenal dalam sejarah Islam hingga saat ini.
B.
Sejarah Berdirinya
Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah adalah dinasti kedua dalam Sejarah
Islam klasik yang menggantikan Dinasti Ummayyah. Lahirnya Bani Abbasiyah pada
tahun 750 M tidak terlepas dari peran besar keturunan Hasyim yang bernama Abu
Abbas. Nama Abbasiyah itu sendiri diambil dari nama bapak pendiri Abbasiyah,
yaitu Abas bin Abdul Mutalib paman Nabi Muhammad Saw. Proses lahirnya Bani
Abbasiyah dimulai dari kemenangan Abu Abbas Assafah dalam perang terbuka
melawan Bani Ummayah yang terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas diberi
gelar Assafah karena pemberani dan mampu memainkan mata pedangnya kepada lawan
politik, semua lawan politik dikejar dan diusir keluar dari wilayah kekuasaan
Abbasiyah yang baru direbut dari Bani Umayyah. Pada saat pergantian kekuasaan
dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah banyak diwarnai dengan pertumpahan
darah. Pemberontakan massal yang berkepanjangan menyebabkan tumbangnya Dinasti
Bani Umayyah pada tahun 132 H/ 750 M dengan kalahkan khalifah Marwan ibn
Muhammad.[1]
Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang agama Islam, akan tetapi dalam
pergantian posisi pemerintahan melalui perlawan yang panjang dalam sejarah
Islam. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas
kekhalifahan Islam, karena bani Hasyim secara nasab keturunan lebih dekat
dengan Rasulullah. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai
khalifah melalui tragedy perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
Dinasti Abbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan
pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah.[2]
Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga
poros utama yang merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain
memiliki kedudukan tersendiri dalam memainkan perannya untuk menegakkan
kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muthalib. Dari nama
Al – Abbas paman Rasulullah inilah disandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan,
yaitu: Huhaimah, Kufah dan Khurasan.[3]
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani
Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga
Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang
penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan
secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan
Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang
bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak
mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang
menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang
cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, imam Ibrahim pemimpin
Abbasiyah yang berkeinginan mendirikan
kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Ummayah terakhir, Marwan
bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah dan
dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya dieksekusi. Ia mewasiatkan kepada
adiknya Abu Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan
terbunuh dan memerintahkan untuk pindah ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda
dibebankan kepada Abu Salamah. Segeralah Abu Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah
di iringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin
Musa, dan Abdullah bin Ali. Penguasa Umayyah di kufah, Yazid bin Umar bin
Hubairah, ditaklukan oleh Abbasiyah dan di usir ke Wasit. Abu Salamah
selanjutnya berkemah di kufah yang telah di taklukan pada tahun 132 H. Abdullah
bin Ali, salah seorang paman Abbul Abbas di perintahkan untuk mengejar khalifah
Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad Bersama pasukannya yang melarikan diri.
Akan tetapi pada akhirnya dapat dipukul mundur di Sungai Zab. Khalifah
melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir, dan akhirnya terbunuh di Busir,
wilayah Al – Fayyum, tahun 132 H/ 750 M. Dan berdirlah Dinasti Abbasiyah yang
di pimpin oleh khalifah pertama yaitu Abbul Abbas Ash – Shaffah dengan pusat
kekuasaan awalnya di Kufah.
Berdirinya Bani Abbasiyah tahun 750 M berarti secara
formal semua wilayah kekuasaan islam berada dibawah kepemimpinan pemerintahan
Abbasiyah termasuk semua bekas Bani Umayyah kecuali wilayah Bani Umayyah yang
berada di Andalusia.
Selama kekuasaan Dinasti Abbasiyah, peradaban Islam
sangat berkembang. Jika pada masa Bani Umayyah lebih dikenal dengan upaya
ekspansinya, maka pada masa Dinasti Abbasiyah yang lebih dikenal adalah
berkembangnya peradaban Islam. Kalau dinasti Umayyah terdiri atas orang-orang
‘Arab Oriented’, dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional, assimilasi
corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan sebagainya.
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah berlangsung selama 505
tahun dan diperintah oleh 37 khalifah yang dibagi menjadi 5 fase pemerintahan,
yaitu:
a. Fase
pembentukan tahun 750 M – 847 M
Fase ini dimulai
dari khalifah pertama yaitu Abu Abbas Assafah sampai ke khalifah ke 9 al
Wastsiq. Abu Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur adalah khalifah sebagai peletak
pondasi yang kuat bagi dinasti ini. Kemudian ada khalifah Harun al – Rasyid
sebagai khalifah kelima yang membangun peradaban ilmu pengetahuan.
b. Fase
kedua tahun 847 M – 945 M
Fase kedua dikenal
dengan pengaruh kekuasaan Turki, fase ini dimulai dari khalifah yang kesepuluh
yaitu al – Mutawakkil, pada masa ini peradaban masih berkembang tapi tidak
pesat seperti fase sebelumnya. Pada masa ini diakhir abad ke – 9 terjadi
disintegrasi atau pecahnya kekuasaan islam menjadi wilayah – wilayah kecil yang
lepas dari pemerintahan Abbasiyah.
c. Fase
ketiga tahun 945 – 1055 M
Fase ini dikenal
dengan masa disintegrasi di kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan Muluk Tawaif di
dinasti Umayyah II Andalusia. Pada fase ini perkembangan ilmu masih berjalan
meskipun sudah menurun dan mahasisawa dari Eropa masih tetap belajar di pusat –
pusat peradaban Islam, baik di Bagdad maupun Andalusia.
d. Fase
keempat tahun 1055 – 1194 M
Fase keempat ini
disebut juga dengan kekuasaan bani Saljuk atau fase pengaruh Turki kedua.
Kegiatan perkembangan ilmu masih berjalan akan tetapi dibeberapa tempat di
wilayah Islam telah terjadi perang dengan orang Kristen.
e. Fase
kelima tahun 1194 – 1258 M
Ini adalah fase
terakhir dari Dinasti Abbasiyah, fase dimana pemerintahan semakin lemah dan
hancurnya Dinasti Abbasiyah. Setelah terjadi disintegrasi dan perang salib dan
pada akhirnya diserang oleh kekuasaan Mongolia. Kekuasaan Islam yang selama 5
abad dibangun dengan susah payah telah takluk dan hancur.
C.
Kemajuan Dalam Bidang
Intelektual, Keagamaan Dan Sosial Budaya
Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para
pakar pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah didalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam, termasuk kemajuan dalam bidang sosial budaya.
a. Kemajuan
dalam bidang intelektual
Puncak keemasan dan kejayaan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Islam terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya
pada masa khalifah Harun ar-rasyid dan putranya Al Makmun. Pada masa itu umat
islam diberi kebebasan berfikir untuk kemajuan pengetahuan dan pengembangan
manusia pada saat itu. Pada masa kekhalifahan ini pula hasi pemikiran manusia
dan para ahli ilmu dari berbagain bangsa di dunia berkembang dan saling
melengkapi dan menambah kemajuan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.[4]
Pada masa Dinasti Abbasiyah suasana belajar sangat
kondusi dan fasilitas belajar disediakan oleh pemerintah dengan lengkap.
Masyarakat mendatangi tempat – tempat belajar seperti Kuttab, madrasah maupun
perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang terkenal pada masa itu adalah Nizamiyah
yang dibangun oleh perdana Menteri Nizamul Muluk dari khalifah Harun al-
Rasyid. Khalifah Harun al- Rasyid terkenal sebagai khalifah yang sangat cinta
pada ilmu pengetahuan, baik belajar maupun dalam hal membangun fasilitas belajar,
seperti; sekolah, perpustakaan, menyediakan guru dan membentuk gerakan
terjemahan.
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa sekitar lima abad
lebih merupakan salah satu dinasti yang sangat peduli pada pengembangan ilmu
pengetahuan. Buku – buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari
Bizantium dan diterjemahkan kedalam Bahasa Arab. Kegiatan penerjemahan buku –
buku ini berjalan sekitara satu abad. Bait al – Hikmah, yang didirikan oleh al
– Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat terjemahan, tetapi juga akademi yang
mempunyai perpustakaan. Diantara cabang – cabang ilmu pengetahuan yang
diutamakan dalam Bait al – Hikmah yaitu ilmu kedokteran, matematika, optika,
geografi, astronomi, Sejarah dan filsafat.
Didorong oleh ayat – ayat al – Quran yang menganjurkan
kepada umat islam untuk menghargai kekuatan akal yang telah diberikan oleh
Allah SWT kepada manusia dan ajaran Rasulullah agar umat Islam untuk selalu
mencari ilmu pengetahuan sehingga cendekiawan Islam tidak hanya menguasai ilmu
pengetahuan dan filsafat tetapi juga melakukan kajian, pemikiran dan
penyelidikan sendiri dalam bidang filsafat. Proses ini disebut dengan Hellenisasi.
Melalui proses ini karya karya teresbut dimodifikasi sehingga menjadi sebuah
pemikiran khas Islam. Diantara tokoh – tokoh yang ikut andil dalam perkembangan
ilmu filsafat Islam adalah: (1) Al – Kindi (801 – 873 M) beliau adalah seorang
filsuf muslim pertama yang berasa dari suku Kindah. Al – Kindi berusaha
untuk menjelaskan hubungan antara agama dan filsafat, antara agama dan filsafat
tidak ada pertentangan sehingga tidak perlu diperdebatkan karena keduanya sama
– sama mencari kebenara. Titik temu pada kebenaran inilah yang kemudian menyebabkan
banyak ilmuan Muslim mengkaji pemikiran filsafat Yunani dan Romawi sehingga
filsafat menjadi salah satu hasil dari pemikiran ilmuan muslim yang sangat
cemerlang saat itu; (2) Abu Nasr al – Faraby (870 – 970 M) karya dan pemikiran
beliau yaitu fusus al hikam, al – mufarriqat, Ara’u ahl al – Madinah al –
Fadhikah. Diantara pemikirannya yang sangat cemerlang dalam bidang filsafat
adalah filsafat emanasi (pancaran); (3) Ibnu Sina (980 – 1037 M) beliau adalah
salah satu filosuf muslim yang gemar mencari pengetahuan sehingga
pengetahuannya berkembang tidak hanya dalam bidang filsafat tetapi juga dalam
ilmu kedokteran yang menghasilkan sebuah karya besar yaitu al – Qanun fi al –
Thibb (ensiklopedi kedokteran) yang menjadi bahan rujukan para ilmuan dan
dokter dunia hingga abad ke – 18 M. diantara pemikiran filsafat yang
dikembangkan adalah filsafat jiwa, filsafat wahyu dan Nabi, dan filsafat wujud;
(4) Al – Ghazali (1059 – 1111 M) diantara karya al – Ghazali adalah al-Munqidz
min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan), Tahafut al-Falasifah
(kerancuan pemikiran para filosof). Al-Ghazali melalukan pencarian kebenaran
dan hakikat dan tidak menemukan argument yang kuat dalam kedua bidang tersebut,
akhirnya melakukan pencarian diri mengenai hakikat yang sebenarnya. Semua itu
ditemukan dalam bidang tasawuf. Dalam bidang inilah dia mencapai kepuasan dalam
usaha mencari kebenaran yang hakiki; (5) Ibnu Rusyd (1126 – 1196 M) merupakan
seorang filosul yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan selain filsafat
seperti ilmu fiqh, Bahasa dan sastra Arab, matematika, fisika, astronomi,
logika dan ilmu kedokteran. Diantara karyanya adalah Bidayah al-Mujtahid
(membahas ilmu hukum) Kitab al-Kulliya (membahas ilmu kedokteran) dan dia
dikenal juga sebagai seorang komentator Aristoteles karena kritikan dan komentarnya
yang sangat tajam. Pemikiran Ibnu Rusyd dan Al – Kindi mempunyai kesamaan dalam
bidang filsafat, karena menyatakan filsafat tidaklah bertentangan dengan Islam
karena antara Islam dan filsafat memiliki kesamaan yaitu mencari tahu tentang
pencipta alam semesta dan isinya.
Pemikiran dan karya para filosof Islam yang hidup pada
Dinasti Abbasiyah menjadi rujukan oleh para ilmuan dan filosuf selanjutnya,
selain itu juga pemikiran para filosuf Islam ini membuat bangsa barat mencapai
masa kejayaan karena telah terbuka pikiran dan gagasan serta menerjemah karya
umat Islam kedalah bahasa Yunani. Dari sinilah dikenal masa renesaince
(revolusi industri)
Ilmu kedokteran juga merupakan salah satu ilmu yang
mengalami perkembangan yang sangat pesat pada saat itu. Dimana pasa masa
tersebut didirikan apotik. Pada awal abad ke-9 Harun al-Rasyid mendirikan rumah
sakit islam dengan mencontoh rumah sakit yang ada di Persia. Tokoh – tokoh
Islam yang terkenal dalam dunia kedokteran antara lain adalah al-Razi dengan
karangannya yaitu al-hawi. Dan Ibnu Sina dengan karangannya yang
terkenal yaitu al-Qanun fi al-Thibb dan Materia Medica.[5]
Terdapat juga ilmu kimia yang memperkenalkan eksperimen
obyektif dengan tokoh yang terkenal dalam bidang kimia yaitu Jabir bin Hayyan
dan dalam bidang matematika dengan tokoh yang terkenal yaitu Al-Khawarizmi,
selain itu juga Al-Khawarizmi merupakan seorang ahli di bidang ilmu bumi dan
astronomi, ahli ilmu bumi pertama dalam Sejarah Islam adalah Hisyam al-Kalbi
yang terkenal pada abad ke-9 M.
b. Kemajuan
dalam bidang keagamaan
Dinasti Abbasiyah juga memperhatikan dengan
perkembangan ilmu agama pada masa pemerintahannya, seperti ilmu hadits, ilmu
tafsir, ilmu fiqh dan tasauf.
Ilmu
Hadis:
Berawal dari masa Dinasti Umayyah dalam Upaya
melakukan penafsiran Al Quran, maka penguasa melakukan Upaya pencarian dan
pengumpuan hadis – hadis Nabi. Hanya saja pembukuan hadis tidak dapat
diselesaikan karean meninggalnya khalifah Umar bin Abdul Azis. Kemudian pada
pertengahan abad ke 2 H telah terjadi bentuk
baru dalam pembukuan hadis, yaitu pembukuan yang terlepas dari
sistematika fiqh dan tidak dimasukkan kedalamnya Fatawa al-Tabi’in dan
pada abad ke 2 H mulai diadakan kritik hadis dan kritik terhadap sanad.
Diantara tokoh yang terkenal dalam bidang hadis yaitu Imam al Bukhari, Imam
Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i.
Ilmu
Tafsir:
Ilmu tafsir adalah ilmu yang dikembangkan untuk
memahami isi kandungan Al-Qur’an. Pada awal masa Dinasti Abbasiyah, ilmu tafsir
masih menjadi bagian dari ilmu hadis. Para ulama memahami isi Al-Qur’an dari
hadis yang diriwayatkan oleh para imam hadis. Pada perkembangan berikutnya,
tafsir Al-Qur’an mulai dibukukan secara terpisah dari kitab hadis. Mereka yang
menyusun kitab tafsir ini disebut dengan mufassirin atau ahli tafsir. Di antara
ahli tafsir yang muncul pada saat ini, ada seorang yang berhasil menyusun kitab
tafsir yang cukup lengkap. Ia bernama Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid
bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari, yang lebih dikenal sebagai Ibnu
Jarir atau ath-Thabari (839-923 M). Kitab tafsir yang disusunnya berjudul Jami
‘al-Baya fi Ta’wil Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan nama Tafsir At-Tabari.
Tafsir At-Tabari menjadi pelopor penyusunan kitab tafsir pada masa-masa
berikutnya.
Ilmu
Fiqh:
Pada masa Dinasti Abbasiyah, para fuqaha (ahli fiqh)
mampu Menyusun kitab – kitab fiqh terkenal hingga saat ini. Para ahli fiqh
dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: ahl al Hadis dan ahl al-Ra’yi, ahl al
Hadis adalah golongan yang menyandarkan kepada hadis dan mengambil hukum(istinbath
al-hukm) sedangkan ahl al-Ra’yi adalah golongan yang menggunakan akal dalam
mengambil hukum (istinbath al-hukm).
Pada masa Dinasti Abbasiyah terjadi pertentangan
antara ahli hukum tentang sumber pengambilan hukum, antara al-Sunnah,
al-Qiyas, Ijma’ dan Taklif. Kemudian dari pertentangan ini lahirlah ilmu Ushul
al-Fiqh. Pada masa Dinasti Abbasiyah dikenal empat ilmuan fiqh atau disebut
juga imam mazhab. Para imam mazhab tersebut adalah: (1) Imam Abu Hanifah (699 –
767 M), Imam Abu Hanifah hidup diantara 2 masa, dipenghujung Dinasti Ummayah
dan awal Dinasti Abbasiyah, beliau sangat ketat dalam menerima hadis dan sangat
kritis. Dasar pokok mazhabnya adalah Al-Quran, hadis, ijma’, qiyas dan
istihsan. Diantara karya beliau dalam bidang fiqh adalah al-Fiqh al-Akbar;
(2) Imam Malik (716-795 M) selain mahir dalam ilmu fiqh, Imam Malik juga
menguasai ilmu kalam dalam karyanya al-Muwaththa; (3) Imam Syafi’i
(767-820 M) karya tulisannya yang terkenal yaitu al-Umm dan al-Risalah; (4)
Imam Hanbali (780 – 855 M) beliau merupakan salah satu murid dari Imam Syafi’I,
beliau tidak menulis kitab fiqh, melainkan para muridnya yangn menghimpun
pemikirannya dikemudian hari. Meskipun begitu beliau dikenal sebagai penulis
kitab hadis Musnal Ahmad bin Hanbal yang memuat 40.000 hadis.
Ilmu
Tasawuf:
Kecenderungan pemikiran yang bersifat filsofis
menimbulkan gejolak pemikiran diantara umat islam, sehingga banyak diantara
pemikir Islam mencoba mencari bentuk Gerakan pemikiran lain, seperti tasawuf.
Situasi politik pada masa itu menyebabkan banyak ulama Islam mencari jalan
menju Tuhan melalui pendekatan tasawuf dengan pendekatan maqam. Para sufi
meninggalkan kenikmatan dunia dan kegiatan mereka hanya beribadah kepada Allah
SWT. Tahapan (maqam) yang dilalui olehpara sufi yaitu: Zuhud (kehidupan
yang telah terbebas dari materi duniawi, Muhabbah (rasa cinta yang
sangat dalam kepada Allah SWT, Ma’rifat (pengalaman ketuhanan), Fana
dan Baqa (suatu keadaan dimana seorang sufi belum dapat menyatukan
dirinya dengan Tuhan sebelum menghancurkan dirinya), Ittihad dan Hulul
(fase dimana seorang sufi sudah merasakan dirinya Bersatu dengan Tuhan) Hulul
adalah fase dimana Tuhan dalam pandangan kaum sufi sudah bersemayam dalam diri
manusia. Tokoh tokoh sufi yang terkenal yaitu: Abu Hasyim, Rabi’ah al-Adawiyah,
Zun Nun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, Al-Hallal dan al-Ghazali dengan karya
besarnya Ihya Ulum al-Din.[6]
c. Kemajuan
dalam bidang sosial budaya.
Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Dinasti Abbasiyah
telah banyak memberikan sumbangsih positif bagi pengembangan pengetahuan dan
peradaban Islam dan bidang lainnya seperti sosial budaya. Diantara kemajuan
sosial budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat.
Keadaan sosial Masyarakat yang majemuk membawa dampak posited dalam
perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Karena dengan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki dinasti ini sehingga bisa digunakan
untuk memajukan bidang sosual budaya. Diantara
kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi
Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana,
masjid, bangunan kota dan lain sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam
pembanguanan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan
Qashrul Khuldi, sementara banguan kota seperti pembangunan kota Baghdad,
Samarra.[7]
D.
Kemajuan Dalam Bidang
Ekonomi dan Politik
Perbedaan yang terlihat dari Dinasti Umayyah dengan
Dinasti Abbasiyah terlihat pada orientasi kebijakan yang dikeluarkan.
Pemerintah Dinasti Umayyah orientasi kebijakan yang dikeluarkan selalu pada upaya
perluasan wilayah kekuasaan, sedangkan pemerintahan Dinasti Abbasiyah lebih fokus
pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Sehingga masa
pemerintah ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam. Walaupun begitu,
usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan hal penting yang
harus dilakukan. Oleh karena itu, pemeritahan Dinasti Abbasiyah memperbaharui
system politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran. Supaya semua kebijakan
militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti
Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yaitu diwanul jundi.
Departemen ini yang mengatur semua yang berkaitan dengan militer dan
pertahanan keamanan, pembentukan Lembaga ini didasari atas kenyataan politik
militer bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah banyak terjadi
pemberontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha untuk memisahkan diri dari
pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Untuk sektor ekonomi pada dinasti Abbasiyah mengalami
perkembangan pesat, yaitu dengan membangun system perdagangan, industry dan pertanian.
Pemindahan ibukota dari Damaskus ke Bagdad untuk mempermudah pengawasan di
jalur perdagangan melalui Sungai Efrat dan Tigris. Selain itu tanah yang subur
di Bagdad bisa digunakan untuk memproduksi hasil pertanian yang melimpah. Hal
ini bisa meningkatkan kas negara yang sangat besar. Untuk menunjang hasil
pertanian yang baik, pemerintah membangun kanal, irigasi dan saluran air
sehingga dinasti Abbaisyah menjadi pemasok hasil pertanian seperti gandum,
padi, kurma, wijen dan kapas.
E.
Kehancuran Dinasti
Abbasiyah
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah terjadi
pada fase kelima pemerintahan, yaitu pada tahun 590 H – 656 H (1194 M – 1258
M). pada fase ini pemerintahan semakin lemah dan menurun. Hal ini tentunya
disebabkan oleh banyak faktor, yang terbagi menjadi faktor internal dan factor
external.
Faktor
internal:
1.
Perebutan kekuasaan di
pusat pemerintahan
Setelah
al-Mutawalil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi
tentara Turki semakin kuat. Mereka dapat menentukan siapa yang diangkat menjadi
khalifah dan itu menyebabkan Dinasti Abbasiya menjadi sangat lemah dan
kekuasaan telah beralih ke tangan bangsa Turki. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
kemudian direbut oleh Bani Buwai, Persia. Kemudian kekuasaan beralih ke Bani
Seljuk, Turki pada periode keempat (447-590 H)[8]
2.
Munculnya dinasti –
dinasti kecil yang memerdekakan diri
Wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah pada
periode pertama sampai masa keruntunan sangatlah luas, yang meliputi Maroko,
Mesir, Syira, Irak, Persia, Turki dan India. Namun, kenyataannya banyak daerah
yang tidak dikuasai oleh khalifah melainkan berada dibawah kekuasaan gubernur
yang bersangkutan.
Hubungan dengan khalifah hanya ditandai dengan
pembayaran upeti, khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk
sehingga tingkat saling percaya dikalangan penguasa dn pelaksana pemerintahan
sangat rendah. Para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan
peradaban dan kebudayaan dibanding politik dan ekspansi wilayah. Selain itu,
banyak daerah – daerah yang memerdekakan diri karena terjadi kekacauan atau
perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh Persia dan Turki,
sehingga mengakibatkan beberapa provinsi dipinggiran mulai lepas dari Dinasti
Abbasiyah.
3.
Kemerosotan perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan DInasnti Abbasiyah
termasuk pemerintahan yang kaya, perekonomian Masyarakat sangat maju, utamanya
di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Seiring dengan masa kemuduran
politik perekonomian juga ikut mudur. Pendapatan negara menjadi menurun karena
semakin sempitnya wilayah kekuasaan serta banyaknya kerusuhan yang menyebabkan
terganggunya perekonomian rakyat. Sementara pengeluaran sangat besar karena
kehidupan para khalifah dan pejabat yang mewah dan terjadi korupsi. Kondisi
politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara menjadi terpuruk
sehingga memperlemah kekuatan politik dinasiti Abbasiyah.
4.
Munculnya aliran sesat
dan fanatisme keagamaan
Sebagian dari orang-orang Persia mempropagandakan
ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme sebab cita-cita mereka tidak
sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa. Munculnya gerakan yang dikenal
dengan gerakan Zindiq ini kemudian menggoda rasa keimanan para khalifah. Konflik
antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlangsung mulai dari bentuk yang
sederhana seperti polemik tentang ajaran hingga konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Selain itu, terjadi pula konflik dengan
aliran Islam lainnya, sepeti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah
yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah yang
menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara.
Faktor
external:
1.
Perang salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih
permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam. Kebencian
tersebut bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis
menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang
Kristen yang ingin berziarah ke sana. Karena itulah, pada tahun 1095 M, Paus
Urbanus II menyerukan kepada umat kristen Eropa untuk melakukan perang suci,
yaitu Perang Salib. Perang salib yang berlangsung dalam beberapa periode banyak
menelan korban dan menguasai beberapa wilayah Islam. Setelah melakukan
peperangan di tahun 1097-1124 M, mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa,
Baitul Baqdis, Akka, Tripoli, dan kota Tyre.
2.
Serangan Mongolia
Orang Mongolia merupakan bangsa yang berasal dari Asia
Tengah, sebuah kawasan terjauh di China, terdiri dari kabilah – kabilah yang
disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). sebagai awal kehancuran Baghdad dan
khilafah Islam, tentara Mongol mulai menguasai negara Asia Tengah, Khurasan dan
Persia. Mereka berhasil menaklukkan negara Khawarizm dan menguasai Asia Kecil. Kemudian, Hulagu Khan mengirimkan
ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak supaya tembok kota sebelah
luar diruntuhkan. Akan tetapi, Khalifah tetap enggan memberikan jawaban
sehingga di awal tahun 1258 M, Hulagu Khan menghancurkan tembok ibu kota.
Hulagu Khan beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya.
Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta
orang. Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu'tashim menandai babak akhir dari
Dinasti Abbasiyah.
F.
Kesimpulan
Dinasti
Abbasiyah terbentuk sejak runtuhnya kekuasaan Bani Ummayah di Damaskus. Masa
keemasan Dinasti Abbasiyah mengalami masa keemasan pada masa pemerintaan
Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, Khalifah Harun ar-Rasyd dan Khalifah Abdullah
al-Makmun.
Masa pemerintahan terdiri dari lima fase, yaitu: fase
pertama pembentukan atau dikenal dengan masa kebangkitan dan pencerahan, fase
kedua dikenal dengan pengaruh kekuasaan Turki pertama, fase ketiga dikenal
dengan masa disintegrasi dalam Dinasti Abbasiyah dan Muluk Tawaif di Dinasti
Ummayah II Andalusia, fase keempat disebut dengan fase kekuasaan Bani Saljuk
atau disebut juga dengan fase pengaruh Turki kedua, pada fase ini sudah mulai
terjadi perang salib, fase kelima dikenal dengan fase terlemah dan sampai
kehancuran kekuasaan Dinasti Abbasiyah dimana Mongolia menyerah Abbasiyah
dengan sangat kejam dan mengakibatkan berakhirnya kegemilangan peradaban Islam
Kehancuran Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh faktor
internal dan external disebabkan dengan adanya perang Salib dan penyerangan
dari Mongolia.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Sewang, Sejarah
Peradaban Islam, Sulawesi Selatan, 2017
Bahroin Suryantara, Sejarah Kebudayaan Islam,Jakarta:
Yudhistira, 2010
Berliana Intan
Maharani, Penyebab runtuhnya dinasti abbasiyah (https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6599357/penyebab-runtuhnya-dinasti-abbasiyah-dinasti-kedua-dalam-sejarah-islam) Diakses pada tanggal 26 September 2023, pukul 13.00
Wib
Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Jakarta: PT Grasindo, 2002
M. Daud Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban
Islam, Yogyakarta, Pustaka Buku Publisher, 2009
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT Karya Toha Putra,
2010
[1] Didin Saefuddin, Zaman
Keemasan Islam (Jakarta: Grasindo, 2002), hal. 27
[2] M. Daud Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta, Pustaka Buku Publisher, 2009),
hal. 143
[3] Anwar Sewang, Sejarah
Peradaban Islam (Sulawesi Selatan, 2017), hal. 214
[4] Bahroin Suryantara, Sejarah
Kebudayaan Islam (Jakarta: Yudhistira, 2010), hal. 12.
[5] Murodi, Sejarah
Kebudayaan Islam (Semarang: Karya Toha Putra), hal. 107
[6] Murodi, Sejarah
Kebudayaan Islam (Semarang: Karya Toha Putra, 2010), hal. 117.
[7] Anwar Sawang, Sejarah
Peradaban Islam (Malang: Wineka Media, 2017), hal. 222.
[8] Berliana Intan
Maharani, Penyebab runtuhnya dinasti abbasiyah (https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6599357/penyebab-runtuhnya-dinasti-abbasiyah-dinasti-kedua-dalam-sejarah-islam) Diakses pada tanggal 26 September 2023, pukul
13.00 Wib