A.
PENDAHULUAN
Al
– Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan mempunyai bahasa yang tinggi dan ayat –
ayatnya tidak selalu bisa dipahami hanya melalui terjemahan. Salah satu cara
untuk memperjelas isi dari al – Quran adalah dengan menggunakan hadist atau
sunah yang berupa semua perbuatan, perkataan yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang mana beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk
menyampaikan setiap wahyu kepada umat manusia.
Hadist
adalah perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW yang sampai sekarang masih
menjadi pedoman bagi umat manusia sedangkan al – Quran merupakan wahyu dari
Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dan
kemudian disampaikan kepada sahabat. Al – Quran adalah salah satu mukjizat dan
tidak ada perubahan sedikitpun sejak zaman Nabi Muhammad sampai sekarang ini. Berbeda
dengan hadits yang pada umumnya disampaikan dengan redaksi sedikit berbeda
dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi Saw. Disamping itu, diakui pula oleh
ulama hadits bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks
hadits, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadits hanya
berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in.
Walau
dengan demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadits
kerana sekian banyak faktor baik pada diri Nabi, para sahabat dan periwayatnya
yang saling mendukung sehingga terpelihara hadits-hadits Nabi Saw. Hadits
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Al-Qur’an sebagai pegangan hidup
setiap muslim sebab ia mempunyai kedudukan yang sama dalam mengamalkan ajaran
Islam. Tanpa hadits, ajaran Al-Qur’an tidak dapat dilaksanakan.
Salah
satu hadits pendidikan yang hampir mencakup semua aspek pendidikan adalah
hadits kedatangan malaikat Jibril ketika menemui Nabi Muhammad Saw. yang
diriwayatkan oleh Umar bin Khatab dan Abu Hurairah, radhiyallahu „anhuma.
Hadits Jibril adalah sebuah hadits yang memuat definisi tentang Islam, Iman,
Ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat menurut akidah umat Islam. Selain itu juga
hadits ini mengajarkan kepada kita tentang majelis ilmu, materi pembelajaran
dan metode pembelajaran.
B.
PEMBAHASAN
1.
Hadis dan Terjemahan
عَنْ
عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ
شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ
السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ
وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ
رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ
إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ،
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي
عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ
فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ
تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ،
ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ
؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ
دِيْنَكُمْ
[1].
( رواه مسلم )
Artinya:
Umar
bi Khattab RA berkata: Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat
Rasulullah SAW. Tiba – tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan
pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda
– tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorangpun diantara kami yang
mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada
lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia
berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam. ”Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Islam adalah, engkau bersaksi tidak
ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya
Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di
bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah
mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia
yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi
menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya;
kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang
baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar. ”Dia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya
Dia melihatmu.”
Lelaki
itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi
menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia
pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi
menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau
melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta
pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang
menjulang tinggi.”
Kemudian
lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku
: “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku
menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah
Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim].
2. Kajian
Hadis yang Setema
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: (بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ
الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ)
ِرَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Artinya:
Dari
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: ”Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ”Islam itu dibangun di atas lima dasar: persaksian
(syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah
subhanahu wa ta’ala dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, haji (ke Baitullah) dan puasa di bulan Ramadhan.” (HR. Al
Bukhari dan Muslim)
3. Mufradat
Hadis
No |
Mufradat |
Kalimat |
Arti |
1 |
عَنْ |
Huruf Jar |
Dari |
2 |
عُمَرَ |
Isim Alam |
Umar (Nama Orang) |
3 |
رَضِيَ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Meridhai |
4 |
اللهُ |
Isim Alam |
Allah |
5 |
عَنْهُ |
Huruf dan Isim Dhamir |
Daripada-nya |
6 |
أَيْضاً |
Masdar |
Juga |
7 |
قَالَ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Berkata |
8 |
بَيْنَمَا |
Dharaf Zaman |
Ketika |
9 |
نَحْنُ |
Isim Dhamir |
Kami |
10 |
جُلُوْسٌ |
Masdar |
Duduk |
11 |
عِنْدَ |
Dharaf Makan |
Disisi |
12 |
رَسُوْلِ |
Masdar |
Utusan |
13 |
صَلَّى |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Melimpahkan Rahmat |
14 |
عَلَيْهِ |
Huruf Jar dan Isim Dhamir |
Diatasnya |
15 |
وَ |
Huruf ‘Athaf |
Dan |
16 |
سَلَّمَ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Mensejahterakan |
17 |
ذَاتَ |
Dharaf |
Suatu |
18 |
يَوْمٍ |
Dharaf zaman |
Hari |
19 |
إِذْ |
Huruf Fujaiyah |
Tiba-tiba |
20 |
طَلَعَ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Datang |
21 |
عَلَيْنَا |
Huruf Jar dan Isim Dhamir |
Diatas Kami |
22 |
رَجُلٌ |
Isim Jamid (mufrad) |
Seorang laki-laki |
23 |
شَدِيْدُ |
Isim Fa’il |
Yang sangat |
24 |
بَيَاضِ |
Isim Jamid |
Putih |
25 |
الثِّيَابِ |
Isim Jamid |
Pakaian |
26 |
سَوَادِ |
Isim Jamid |
Hitam |
27 |
الشَّعْرِ |
Isim Jamid |
Rambut |
28 |
لاَ |
Huruf nafi |
Tidak |
29 |
يُرَى |
Fi’il Mudhari’ Majhul |
Dilihatkan |
30 |
أَثَرُ |
Isim Jamid |
Bekasan |
31 |
السَّفَرِ |
Masdar |
Perjalanan |
32 |
يَعْرِفُ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Mengenalnya |
33 |
مِنَّا |
Huruf Jar dan Isim Dhamir |
Dari kami |
34 |
أَحَدٌ |
Isim ‘adad |
Seorang |
35 |
حَتَّى |
Huruf Ibtida’ |
Sehingga |
36 |
جَلَسَ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Duduk |
37 |
إِلَى |
Huruf Jar |
Kepada |
38 |
النَّبِيِّ |
Isim Fa’il |
Nabi |
39 |
فَ |
Huruf ‘Athaf |
Maka |
40 |
أَسْنَدَ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Menyandarkan |
41 |
رُكْبَتَيْهِ |
Isim Jamid dan Isim Dhamir |
Dua Lututnya |
42 |
وَضَعَ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Meletakkan |
43 |
كَفَّيْهِ |
Isim Jamid dan Isim Dhamir |
Dua Telapak Tangannya |
44 |
عَلَى |
Huruf Jar |
Diatas |
45 |
فَخِذَيْهِ |
Isim Jamid dan Isim Dhamir |
Dua Pahanya |
46 |
يَا |
Huruf Nida’ |
Wahai |
47 |
مُحَمَّد |
Isim ‘Alam |
Muhammad |
48 |
أَخْبِرْ |
Fi’il Amar |
Khabarkanlah |
49 |
يْ |
Isim Dhamir |
Akan Aku |
50 |
الإِسْلاَمِ |
Masdar |
Islam |
51 |
أَنْ |
Huruf Menasabkan Fi’il Mudhari’ |
Bahwa |
52 |
تَشْهَدَ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Kamu Bersaksi |
53 |
إِلَهَ |
Isim Jamid |
Tuhan |
54 |
إِلاَّ |
Huruf Istisna |
Kecuali |
55 |
تُقِيْمَ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Kamu dirikan |
56 |
الصَّلاَةَ |
Isim Masdar |
Shalat |
57 |
تُؤْتِيَ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Kamu Tunaikan |
58 |
الزَّكاَةَ |
Masdar |
Zakat |
59 |
تَصُوْمَ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Kamu Puasa |
60 |
رَمَضَانَ |
Isim ‘Alam |
Bulan Ramadhan |
61 |
تَحُجَّ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Kamu Haji |
62 |
الْبَيْتَ |
Isim Jamid |
Ka’bah |
63 |
إِنِ |
Huruf Syarat |
Jika |
64 |
اسْتَطَعْتَ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Kamu Sanggup |
65 |
إِلَيْهِ |
Huruf Jar dan Isim Dhamir |
Kepadanya |
66 |
سَبِيْلاً |
Isim Jamid |
Jalan |
67 |
صَدَقْتَ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Kamu Benar |
68 |
عَجِبْنَا |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Kami Heran |
69 |
لَهُ |
Huruf Jar dan Isim Dhamir |
Baginya |
70 |
يَسْأَلُ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Dia Bertanya |
71 |
يُصَدِّقُ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Dia Benarkan |
72 |
اْلإِحْسَانِ |
Masdar |
Ihsan |
73 |
تَعْبُدَ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Kamu Sembah |
74 |
كَأَنَّ |
Huruf Menasab Isim |
Seolah-olah |
75 |
تَرَا |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Kamu lihat |
76 |
لَمْ |
Huruf Nafi |
Tidak |
77 |
تَكُنْ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Ada kamu |
78 |
يَرَا |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Ia Melihat |
79 |
السَّاعَةِ |
Isim Jamid |
Kiamat |
80 |
الْمَسْؤُوْلُ |
Isim Maf’ul |
Orang yang ditanya |
81 |
أَعْلَمَ |
Isim Tafdhil |
Lebih Mengetahui |
82 |
السَّائِلِ |
Isim Fa’il |
Orang yang bertanya |
83 |
أَمَارَاتِ |
Isim Jamid |
Tanda-tanda |
84 |
تَلِدَ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Melahirkan |
85 |
اْلأَمَةُ |
Isim Jamid |
Budak Perempuan |
86 |
رَبَّةَ |
Isim Jamid |
Tuan |
87 |
الْحُفَاةَ |
Isim Fa’il (Jama’) |
Para Telanjang kaki |
88 |
الْعُرَاةَ |
Isim Fa’il (Jama’) |
Para Telanjang badan |
89 |
الْعَالَةَ |
Isim Fa’il (Jama’) |
Orang Miskin |
90 |
رِعَاءَ |
Isim Fa’il (Jama’) |
Para Pengembala |
91 |
الشَّاءِ |
Isim Jamid (Jama’) |
Kambing |
92 |
يَتَطَاوَلُوْنَ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Berlomba-lomba |
93 |
الْبُنْيَانِ |
Masdar |
Bangunan |
94 |
انْطَلَقَ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Ia Pergi |
95 |
لَبِثْتُ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Aku Berdiam |
96 |
مَلِيًّا |
Isim Jamid |
Waktu yang lama |
97 |
عُمَرَ |
Isim ‘Alam |
Umar |
98 |
أَ |
Huruf Istifham |
Adakah |
99 |
تَدْرِي |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Kamu Tahu |
100 |
قُلْتُ |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Aku Jawab |
101 |
جِبْرِيْلُ |
Isim ‘Alam |
Jibril |
102 |
أَتـَا |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Ia Datang |
103 |
كُمْ |
Isim Dhamir |
Kamu |
104 |
يُعَلِّمُ |
Fi’il Mudhari’ Ma’ruf |
Ia Mengajarkan |
105 |
دِيْنَ |
Isim Jamid |
Agama |
106 |
روا |
Fi’il Madhi Ma’ruf |
Meriwayatkan |
107 |
مسلم |
Isim ‘Alam |
Perawi Muslim |
4. Takhkrij
Hadis
Hadits
ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga
oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610),
an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14),
ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah
(II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah
(no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin
Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad
(190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin
Khaththab.
Hadits
ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan
oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Baari (I/115-116), yaitu :
Abu
Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
Ibnu
‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
Anas
(HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
Jarir
bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
Ibnu
‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)[2]
5. Penjelasan
(syarah)
Ada 4 hal yang menjadi fokus dalam penjelasan
hadis tersebut diatas, yaitu:
1) Keadaan
Nabi Muhammad dan Sahabat pada saat Jibril datang
Salah satu metode
menyampai ilmu oleh Rasulullah yaitu melalui majelis taklim, suatu masa
Rasulullah sedang duduk dengan para sahabat di mesjid dalam suatu majelis
taklim, Rasulullah meminta sahabat untuk bertanya , tapi sahabat enggan untuk
bertanya kepada Rasulullah. Tiba – tiba datang seorang laki – laki masuk
kedalam majlis taklim tersbut. Para sahabat yang hadir dalam majlis merasa
heran melihat seorang laki-laki itu. Mereka heran disebabkan mereka tidak ada
yang mengenalnya dan tiba-tiba langsung masuk dalam majlis tersebut dan
mendekati Rasulullah saw. duduk berhadap-hadapan tanpa ada jarak. Lutut mereka
berdua bersentuhan dan beradu karena dekatnya laki-laki tersebut dan meletakkan
kedua tangannya di atas paha Rasulullah saw.[3]
Para sahabatpun saling
berpandangan satu sama lainnya disebabkan kebingungan dan keheranan, mereka
bertanya-tanya siapa gerangan lelaki ini, karena satupun di antara mereka tidak
ada yang mengenalinya. Kebingungan mereka semakin bertambah ketika lelaki
tersebut bertanya kepada Rasulullah saw. dan ketika nabi menjawab pertanyaannya
diapun membenarkannya. Salah seorang sahabat tidak ada satupun yang berani
bertanya dan menyela seorang lelaki tersebut hingga lelaki itu berlalu dari
majlis. Keadaan Rasulullah saw, dalam majlis tersebut adalah dalam keadaan
duduk sejajar dengan para sahabat tanpa ada tempat khusus yang membedakannya. Sehingga
beliau tidak dapat melihat siapa saja yang hadir dalam majlis tersebut hingga
ke belakang. Sejak itu para sahabat bermohon izin kepada Nabi agar membuat
tempat duduk untuknya supaya Nabi dapat melihat siapa saja yang hadir mengikuti
majlisnya. Atas dasar itu maka Al – Qurtubi menyimpulkan bahwa disunnahkan bagi
seorang guru untuk membuat tempat duduk lebih tinggi dari murid-muridnya.
Inilah yang diamalkan di masyarakat ketika dalam sebuah pengajian-pengajian dan
di sekolah-sekolah bahwa tempat duduk gurunya berbeda dengan tempat duduk dari
murid. Baik itu dari segi ukuran tingginya atau bentuk dan lainnya.
2) Keadaan
Jibril ketika datang pada majelis tersebut
Jibril datang kepada
Rasulullah dengan berjalan kaki tanpa menunggang kuda dalam wujud seorang laki
– laki yang tampan (berwujud manusia)[4]
dan berpakaian berwarna putih. Tidak seorangpun sahabat yang mengenalnya, sesampainya
di majelis, Jibril langsung duduk dekat Rasulullah, menempelkan lututnya dan
menopangkan tangannya pada nabi dan berdialog dengan mengucapkan lafad salam.
Bertujuan untuk mengajari sahabat nabi tentang agamanya.
Mengenai apakah Jibril
mengucapkan salam kepada Rasulullah atau tidak, terjadi perbedaan pendapat di
kalangan para ulama. Tetapi yang paling rajih adalah mengucapkan salam,
sebagaimana Hadis dan riwayat an-Nasa’i dan al-Bazzar tersebut. Dalam hal in
al-Qurtubi mengatakan bahwa disunnahkan untuk mengucapkan salam ketika memasuki
suatu majlis secara umum dan mengucapkan salam secara khusus kepada orang yang
ditemui dalam majlis tersebut.[5]
Pakaian jibril yang
berwarna putih melambangkan kesucian dan kesederhanaan, hal ini menunjukkan
bahwa agama Islam sangat mengajarkan tentang kesucian dan kesederhanaan.
Posisi duduk Malaikat
Jibril dipahami seperti seorang murid, akan tetapi perbuatan meletakkan tangan
di paha Rasulullah bertujuan untuk menarik perhatian agar orang-orang
mendengarkannya. Disamping itu hadits ini juga mengindikasikan agar seorang
yang ditanya tentang suatu permasalahan bersikap rendah diri dan simpatik
terhadap orang yang menanyakan pertanyaan.
3) Materi
dialog antara Jibril dan Nabi Muhammad SAW
Terjadi perbedaan
pendapat ulama tentang urutan pertanyaan tentang iman, islam dan ihsan, dari
ketiga hal tersebut yang mana yang duluan disebutkan. Sebenarnya ini adalah
satu hadis dan perbedaan ini disebabkan oleh periwayat yang meriwayatkannya
berbeda beda tentang pertanyaan iman dan islam. Sebagian berpendapat bahwa
pertanyaan yang duluan adalah tentang iman karena iman adalah dasar pokok
agama, pertanyaan selanjutnya adalah tentang islam karena islam sebagai ciri
keyakinan atas apa yang dinyatakan dan diyakini. Selanjutnya adalah ihsan
karena ihsan tergantung kepada iman dan Islam. Sedangkan sebagian yang lain
mengatakan bahwa pertanyaan pertama adalah Islam karena ini berhubungan dengan
masalah zahiriah dan pertanyaan kedua adalah iman, karena ini berhubungan
dengan bathiniah.
Abu ‘Amr bin as-Salah
mengatakan bahwa; berdasarkan apa yang kami sebutkan dan buktikan, muncul
pemahaman bahwa iman dan Islam dapat terkumpul dan terpisah. Setiap mukmin
adalah muslim, tetapi tidak setiap muslim adalah mukmin.[6]
Apabila disebutkan islam dan iman secara bersamaan maka maknanya berbeda tetapi
kalau disebutkan secara sendiri-sendiri maka maknanya sama.[7]
Maksudnya adalah apabila dikatakan islam saja maka disitu tergabung dengan iman
dan sebaliknya apabila disebutkan iman saja maka disitu sudah tergabung islam.
Tetapi kalau dikatakan dua-duanya maka maknanya berbeda-beda. Kalau dikatakan
Islam dan iman maka maksudnya adalah islam dari segi lahir sementara iman dari
segi batin. Ini menunjukkan bahwa konteks Hadis ini tidaklah menunjukkan
urutan,[8]
tetapi yang jelas konteks Hadis ini adalah untuk menjelaskan kepada para sahabat
tentang ajaran agama.
4) Penjelasan
terhadap materi yang menjadi dialog antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad
SAW.
Ada 4 materi yang menjadi pembahasan dalam
hadis ini, yaitu:
a. Islam
Islam menurut bahasa
maknanya tunduk dan berserah diri kepada Allah. Sedang menurut istilah Islam
adalah melaksanakan lima amalan pokok, yaitu: bersyahadat (bersaksi) bahwa
tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Allah dan Nabi
Muhammad utusan Allah. Menegakkan shalat lima waktu pada waktunya, dengan
menyempurnaka syarat dan rukunnya, serta memenuhi sunnah dan adab-adabnya.
Membayar zakat, puasa Ramadhan dan berhaji kepada Baitullah sekali dalam
hidupnya bagi siapa saja yang mampu melaksanakannya.
An – Nawai dalam
menjelaskan kalimat “menyebah Allah dan tidak mensekutukan-Nya,” mengatakan
bahwa ibadah itu adalah taat dan khudu’. Maksud ibadah disini adalah mengenal
Allah dan mengesakan-Nya.
Ditambahkan dengan
mendirikan salat dan seterusnya disini sebagai islam adalah karena keberadaanya
sebagai syiar yang tampak. Sementara ibadah lainnya hanya ikut gemerlap ibadah
yang ada dalam rukun islam tersebut.[9]
Itulah sebabnya ketika seseorang yang mau masuk Islam wajib mengucapkan kalimat
syahadat sebagai rukun utama atau fondasi. Adapun sembahyang dan lainya
diumpamakan seperti bangunan dan menunjukkan kesempurnaan Islamnya dan ketika
meninggalkan salah satunya diantara itu maka menunjukkan lemah keislamannya.
b. Iman
Iman secara bahasa
artinya At Tashdiq (membenarkan) dengan hati. Sedangkan secara istilah adalah
keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT adalah zat yang satu, esa, sendiri, tempat
bergantung, tidak mempunyai istri dan anak. Dia Rabb segala sesuatu dan pemiliknya,
tidak ada sekutu didalam kekuasaan-Nya. Dialah Al-Khaliq (yang menciptakan),
Ar-Raziq (pemberi rizki), Al-Mu’thi (Pemberi anugrah), Al-Maani’ (Penahan
pemberian), Al-Muhyi (Yang menghidupkan), Al-Mumit (Yang mematikan), sekaligus
yang mengatur seluruh urusan makhluk-Nya. Termasuk beriman kepada Allah adalah
beriman dengan segala apa yang Dia kabarkan dalam Al-Qur`an, atau yang
diceritakan oleh Rasul-Nya tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan
bahwasanya Dia tidak sama dengan makhluk-Nya dan bagi-Nya kesempurnaan mutlak
dalam hal sifat dan nama-nama tersebut, dengan menetapkannya untuk-Nya tanpa
tamtsil (menyerupakannya) dan menyucikannya tanpa ta’thil (menghilangkan
maknanya).
Al-Bukhari mengatakan
“bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan. Bahkan seluruh ahli hadis,
sahabat, tabiin, Malik, asy-Syafi’i dan Hanbali juga berpendapat demikian.”[10]
Lebih jelas lagi an-Nawawi mengatakan bahwa; “iman yang berhak disandang
seorang mukmin itu adalah apabila ia mampu mendatangkan ketiga unsur berikut,
yaitu membenarkan dalam hati diucapkan dengan lisan dan diamalkan anggota
badan.[11]
Meyakini dengan kuat
bahwa Allah memiliki para malaikat yang diciptakan dari cahaya, mereka tidak
pernah membantah perintah-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan
kepada mereka.
Membenarkan dengan penuh
keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai kitab-kitab yang diturunkan
kepada para Rasul-Nya untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya dengan kebenaran
yang nyata serta petunjuk yang jelas. Dan bahwasanya ia adalah Kalam Allah yang
Dia firmankan dengan sebenarnya sebagaimana yang Dia kehendaki dan menurut apa
yang Dia inginkan.
Membenarkan dengan
seyakin-yakinnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus kepada setiap
umat seorang Rasul yang menyeru mereka untuk beribadah hanya kepada-Nya semata,
tanpa menyekutukan-Nya dan untuk kafir kepada segala sembahan selain-Nya. Serta
keyakinan bahwa semua Rasul adalah benar, mulia, luhur, mendapat petunjuk dan
menunjuki orang lain. Mereka telah menyampaikan apa yang karenanya mereka
diutus oleh Allah, tanpa menyembunyikan atau mengubahnya sedikitpun.
Meyakini dengan pasti
kebenaran setiap hal yang diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
kitab suci-Nya dan setiap hal yang diberitakan oleh Rasul-Nya Shalallahu
‘alaihi wa sallam mulai dari apa yang akan terjadi sesudah mati, seperti fitnah
kubur, adzab dan nikmat kubur, serta apa yang terjadi sesudah itu berupa
kebangkitan dari kubur, mahsyar (tempat berkumpul di akhirat), shuhuf (catatan
amal), hisab (perhitungan), mizan (timbangan), haudh (telaga), shirath
(titian), syafa’at (pertolongan), Jannah dan Naar serta apa-apa yang dijanjikan
Allah SWT bagi para penghuninya.
c. Ihsan
Ihsan adalah engkau
menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalimat ini kata Ibn ‘Attar
adalah termasuk jawami’ al-kalim.” [12]
Makna ihsan di dalam Hadis ini adalah ihsan dalam ibadah, sedangkan bentuk
ihsan dalam ibadah adalah ikhlas, khusyu' dan berkonsentrasi penuh pada saat
melaksanakannya, dan yakinlah bahwa engkau selalu dipantau oleh Allah SWT. Atas
dasar itu, jika engkau tidak dapat melihat-Nya senantiasalah beribadah, karena
Dia selalu melihatmu. Baguskanlah amalanmu yang tidak tampak dan usahakan
jangan sampai melakukan sesuatu yang bisa merusak amalanmu. Ikhlas itu dari
sisi maknanya adalah murni, suci, tidak bercampur, bebas, jernih atau bersih
dari pencemaran.[13]
Demikian juga halnya berislam dan beriman kepada Allah mesti murni dan suci sebagaimana makna dari ikhlas tersebut. Ketika
seseorang beriman dan berislam dengan bercampur dengan unsur lain maka tentunya
keimanan dan keislamannya tidak diterima. Karena hal itu menyebabkan seseorang
menjadi musyrik dan musyrik itu adalah dosa besar yang merusak keimanan dan
keislaman seseorang. Dari sisi medis, ketika seseorang melakukan ihsan (ikhlas)
dalam berbuat atau beramal maka kamu akan bahagia. Ketika seseorang bahagia
maka itu akan memunculkan zat endorphin dalam tubuh seseorang yang akan
menambah imunitas. Sebaliknya seseorang yang melakukan amalan dengan tidak
ikhlas maka ia akan merasa terbebani dan tidak bahagia dan ketika seseorang
terbebani dan tidak bahagia maka akan timbul stress dan lain sebagainya yang
akan menimbulkan berbagai penyakit.
d. Hari
kiamat
Ketika Jibril bertanya
kepada Nabi tentang kapan terjadinya hari kiamat beliau mengatakan bahwa
tidaklah yang ditanya lebih tahu dari yang bertanya. An-Nawawi[14]
dalam menjelaskan kalimat ini mengatakan; “bahwa siapa saja yang ditanya dan
dia tidak tahu jawabannya maka janganlah malu untuk mengatakan bahwa saya tidak
tahu.” “Karena kejujurannya itu tidaklah menjatuhkan harga dirinya.” Akan
tetapi hal itu merupakan keagungan, daripada memaksakan diri untuk menjawabnya
padahal jawabannya bisa saja sesat dan menyesatkan anak didiknya.
Pada dasarnya seorang
yang bertanya adalah karena dia tidak tahu. Akan tetapi bagi orang yang sudah
tahu juga boleh mengajukan pertanyaan kepada seorang guru dengan tujuan untuk
memberi tahu kepada yang lainnya yang belum tahu bukan untuk mengetes atau menguji
kemampuan seorang guru. Hal ini dipahami soal jawab antara Jibril dengan Nabi
tentang iman, islam dan ihsan. Dalam Hadis tersebut Jibril bertanya kepada Nabi
padahal Jibril sudah tahu tentang hal itu. Akan tetapi Jibril bertanya kepada
Nabi adalah untuk memberitahu kepada sahabat yang hadir dalam majlis tersebut.[15]
Begitupun Rasulullah menyampaikan
kepada Jibril tentang tanda-tanda terjadinya hari kiamat tersebut. Setelah
diminta oleh Jibril untuk menyampaikan ciri-cirinya. Di antaranya yang pertama
adalah apabila seorang hamba melahirkan tuannya. Dalam memahami kalimat ini
para ulama berbeda pendapat. Perbedaan tersebut menurut al-‘Asqalani[16]
ada tujuh dan dia meringkasnya dalam empat pendapat sebagai berikut; “pertama,
pendapat al-Khattabi, yaitu semakin “meluasnya negara Islam dan ditaklukkannya
negara – negara musyrik dan menahan tawanan mereka, sehingga para tuan memiliki
budak perempuan yang melahirkan anaknya. Maka anak yang dilahirkan budak itu
sama posisinya dengan tuannya, karena dia adalah anak tuannya.” “Kedua, para
tuan tersebut menjual para budak perempuan (ibu dan anak) mereka.” “Ketiga,
pendapat an-Nawawi, yaitu seorang budak melahirkan seorang anak dari orang yang
merdeka dengan hubungan yang syubhat atau dengan sesama budak baik dengan nikah
yang sah maupun tidak. kemudian budak tersebut diperjualbelikan dan terus
berputar kepemilikannya sampai akhirnya dia dibeli oleh anaknya.” Keempat, dan
ini menurut pemakalah yang terjadi pada masa sekarang ini, yaitu banyaknya
kedurhakaan terhadap orangtua sehingga seorang anak memperlakukan orangtuanya
seperti budaknya dengan memaki, memukul bahkan menjadikannya sebagai
pembantunya.
Tanda yang kedua akan
terjadinya hari kiamat adalah “kalau kamu telah menyaksikan orang-orang yang
tidak beralas kaki dan tidak berbusana dari kalangan orang-orang melarat
penggembala domba saling berlomba-lomba mendirkan bangunan yang tinggi.”
Al-Qurtubi mengatakan bahwa maknanya adalah; “berubahnya kondisi, yaitu
orang-orang badui menguasai negara dengan kekerasan sehingga harta mereka
melimpah.” “Kemudian perhatian mereka beralih kepada pembangunan gedung-gedung
dan membanggakannya, dan inilah yang terjadi sekarang ini.”63 Pernyataan ini
dikuatkan oleh hadis yang mengatakan; “tidak akan terjadi hari kiamat hingga
orang yang paling Bahagia di dunia menjadi orang yang paling hina. Dan hadis
lain yang menjelaskan jika suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya
maka tunggu saja kehancurannya.”[17]
6. Penjelasan
yang Dipetik dari Hadis
Ada
banyak sekali hikmah dari hadits ini yang menjadi pelajaran untuk kita semua,
diantara hikmah tersebut adalah:
1) Dalam
hadis ini mengajarkan kepada kita tentang etika menanyakan suatu pertanyaan.
Bagi orang – orang yang hadir dalam majelis ilmu dan melihat ada beberapa orang
ingin mengetahui suatu hal tapi pertanyaan tersebut belum ada yang menanyakan,
maka sepatutnya dia menanyakan walapun sudah mengetahuinya agar orang lain yang
hadir bisa mengambil manfaat dari jawabn yang diberikan. Apabila orang yang
ditanya kepadanya tentang suatu hal dan dia tidak mengetahui jawabnnya, maka
hendaklah jujur akan ketidaktahuannya supaya tidak terjerumus kepada hal – hal
yang tidak diketahui.
2) Islam,
Iman dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan
lainnya. Islam adaalah satu-satunya agama yang diakui Allah di sisi-Nya,
sedangkan Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah Islam. Keyakinan
tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan
pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya pendekatan
diri kepada Allah dan barometer tingkat keimanan dan ketaqwaan seorang hamba.
Maka Islam tidak sah tanpa Iman, dan iman pun tidak sempurna tanpa ihsan.
Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan iman pun tidak akan terwujud
tanpa adanya Islam.
3) Hadis
ini juga mengajarkan kepada kita bahwa metode tanya jawab bagus digunakan
sehingga ummat bisa mengetahui jawaban – jawaban yang diberikan dan semangat
dalam belajar.
4) Seseorang
yang hendak mengaji, bertamu atau acara-acara resmi lainnya sangat disunnahkan
untuk memperhatikan kondisi pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika
menghadap ulama, orang-orang mulia dan penguasa. Dan ini merupakan etika atau
adab dalam bepakaian.
5) Jika
seseorang ditanya tentang suatu hal yang memang dia tidak tau jawabannya, maka
tidak ada celanya jika ia berkata “Saya tidak tahu“, dan hal tersebut tidak akan mengurangi
kedudukannya.
C.
PENUTUP
Mempelajari
tentang kehidupan Rasulullah SAW sangatlah menarik karena disetiap yang beliau
tunjukkan dan kerjakan menjadi pembelajaran kepada umat. Pelajaran berharga
yang dapat diambil dari hadist Jibril ini ialah tidak semua orang yang bertanya
itu tidak mengetahuinya. Sikap kepedulian, menjadikan seseorang mau menanyakan
untuk orang lain sehingga orang lain akan mendapat pembelajaran dari jawaban
yang dsampaikan.
Dari
penjelasan hadis jibral, maka jelas bagi kita bahwa islam itu adalah iman, dan
iman itu adalah islam. Apabila disebut satu di antaranya maka yang lain juga
ikut di dalamnya.“Dengan demikian keimanan yang sebenarnya adalah tasdiq
(menerima) di dalam hati bahwa “Tiada Tuhan Selain Allah”.”Selama di dalam
hatinya ada tasdiq, walaupun anggota badannya meninggalkan salah satu dari
rukun Islam bahkan melakukan dosa besar lainnya sekalipun ia tetap dikatakan
beriman. Namun demikian tingkat keimanannya tersebut adalah tingkatan yang
paling rendah. Sementara keimanan yang paling sempurna adalah, “tasdiq di dalam
hati, diucapkan dengan lidah dan diamalkan anggota badan.”
DAFTAR
PUSTAKA
Al-‘Asqalani, Fath al-Bari
Siregar, Hadis-hadis Pendidikan (Jakarta,
Kencana:2017)
Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bahri Sharah Shahih
Al Bukhari. Terj. Ghazirah Abdil Ummah (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997)
Isma’il
bin Muhammad bin Mahi as-Sa’di al-Ansari, At-Tuhfah ar-Rubbaniyyah fi Syarh
alArba’in Hadisan an-Nawawiyyah (al-Iskandariyyah: Matba’ah Dar Nasyr
as-Saqafah, 1380 H)
Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi
an-Naisaburi, Sahih Muslim (Beirut : Dar Ihya' at-Turas al-Arabi, tt.)
Yazid bin Abdul Qadir Jawwaz, Syarah Hadis Jibril Tentang Islam, Iman
dan Ihsan (Almanhaj: September 2023), https://almanhaj.or.id/12078-syarah-hadits-jibril-tentang-islam-iman-dan-ihsan-3.html
[1] Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih
Muslim (Beirut : Dar Ihya' at-Turas al-Arabi, tt.), juz I, h. 36-40
[2] Yazid bin Abdul Qadir
Jawwaz, Syarah Hadis Jibril Tentang Islam, Iman dan Ihsan (Almanhaj:
September 2023), https://almanhaj.or.id/12078-syarah-hadits-jibril-tentang-islam-iman-dan-ihsan-3.html
[3] Isma’il bin Muhammad bin Mahi as-Sa’di al-Ansari, At-Tuhfah
ar-Rubbaniyyah fi Syarh alArba’in Hadisan an-Nawawiyyah (al-Iskandariyyah:
Matba’ah Dar Nasyr as-Saqafah, 1380 H), h. 8.
[4] Al Imam Al Hafizh Ibnu
Hajar Al Asqalani, Fathul Bahri Sharah Shahih Al Bukhari. Terj. Ghazirah
Abdil Ummah (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), hal. 210.
[5] Ibid, hal 212
[6] Ibn ‘Attar, .Syarah Hadits
Arba’in, h. 11, Nawawi al-Jawi, Tanqih al-Qaul, h. 34.
[7] ‘Abd al-Muhsin, Syarh Hadis
Jibril, h. 17.
[8] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari,
juz I, h. 117.
[9] An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh, juz I, h. 162.
[10] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 5.
[11] An-Nawawi, al-Minhaj, juz I, h. 147.
[12] Ibn ‘Attar, Syarah Hadits, h. 15.
[13] Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia al-Munawwir
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 359.
[14] An-Nawawi, al-Minhaj, juz I, h. 158
[15] Siregar, Hadis-hadis Pendidikan (Jakarta, Kencana:2017) h. 130
[16] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 122-123.
[17] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 123.
0 comments:
Post a Comment