Saturday, October 12, 2024

HADIS TENTANG PENDIDIKAN AGAMA (Iman, Islam dan Ihsan)

 

A.    PENDAHULUAN

Al – Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan mempunyai bahasa yang tinggi dan ayat – ayatnya tidak selalu bisa dipahami hanya melalui terjemahan. Salah satu cara untuk memperjelas isi dari al – Quran adalah dengan menggunakan hadist atau sunah yang berupa semua perbuatan, perkataan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang mana beliau mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk menyampaikan setiap wahyu kepada umat manusia.

Hadist adalah perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW yang sampai sekarang masih menjadi pedoman bagi umat manusia sedangkan al – Quran merupakan wahyu dari Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dan kemudian disampaikan kepada sahabat. Al – Quran adalah salah satu mukjizat dan tidak ada perubahan sedikitpun sejak zaman Nabi Muhammad sampai sekarang ini. Berbeda dengan hadits yang pada umumnya disampaikan dengan redaksi sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi Saw. Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadits bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadits, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadits hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in.

Walau dengan demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadits kerana sekian banyak faktor baik pada diri Nabi, para sahabat dan periwayatnya yang saling mendukung sehingga terpelihara hadits-hadits Nabi Saw. Hadits merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Al-Qur’an sebagai pegangan hidup setiap muslim sebab ia mempunyai kedudukan yang sama dalam mengamalkan ajaran Islam. Tanpa hadits, ajaran Al-Qur’an tidak dapat dilaksanakan.

Salah satu hadits pendidikan yang hampir mencakup semua aspek pendidikan adalah hadits kedatangan malaikat Jibril ketika menemui Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Umar bin Khatab dan Abu Hurairah, radhiyallahu „anhuma. Hadits Jibril adalah sebuah hadits yang memuat definisi tentang Islam, Iman, Ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat menurut akidah umat Islam. Selain itu juga hadits ini mengajarkan kepada kita tentang majelis ilmu, materi pembelajaran dan metode pembelajaran.

 

 

 

 

 

B.    PEMBAHASAN

1. Hadis dan Terjemahan

 عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ   وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ

                                                                                                                                                                           [1]. ( رواه مسلم  )

Artinya:                                                                                                    

Umar bi Khattab RA berkata: Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah SAW. Tiba – tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda – tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam. ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.

Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar. ”Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”

Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”

Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”

Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”

Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”

Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”

Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim].

2.     Kajian Hadis yang Setema

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: (بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ) ِرَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Artinya:

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Islam itu dibangun di atas lima dasar: persaksian (syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji (ke Baitullah) dan puasa di bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

 

 

3.     Mufradat Hadis

No

Mufradat

Kalimat

Arti

1

عَنْ

Huruf Jar

Dari

2

عُمَرَ

Isim Alam

Umar (Nama Orang)

3

رَضِيَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Meridhai

4

اللهُ

Isim Alam

Allah

5

عَنْهُ

Huruf dan Isim Dhamir

Daripada-nya

6

أَيْضاً

Masdar

Juga

7

قَالَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Berkata

8

بَيْنَمَا

Dharaf Zaman

Ketika

9

نَحْنُ

Isim Dhamir

Kami

10

جُلُوْسٌ

Masdar

Duduk

11

عِنْدَ

Dharaf Makan

Disisi

12

رَسُوْلِ

Masdar

Utusan

13

صَلَّى

Fi’il Madhi Ma’ruf

Melimpahkan Rahmat

14

عَلَيْهِ

Huruf Jar dan Isim Dhamir

Diatasnya

15

وَ

Huruf ‘Athaf

Dan

16

سَلَّمَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Mensejahterakan

17

ذَاتَ

Dharaf

Suatu

18

يَوْمٍ

Dharaf zaman

Hari

19

إِذْ

Huruf Fujaiyah

Tiba-tiba

20

طَلَعَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Datang

21

عَلَيْنَا

Huruf Jar dan Isim Dhamir

Diatas Kami

22

رَجُلٌ

Isim Jamid (mufrad)

Seorang laki-laki

23

شَدِيْدُ

Isim Fa’il

Yang sangat

24

بَيَاضِ

Isim Jamid

Putih

25

الثِّيَابِ

Isim Jamid

Pakaian

26

سَوَادِ

Isim Jamid

Hitam

27

الشَّعْرِ

Isim Jamid

Rambut

28

لاَ

Huruf nafi

Tidak

29

يُرَى

Fi’il Mudhari’ Majhul

Dilihatkan

30

أَثَرُ

Isim Jamid

Bekasan

31

السَّفَرِ

Masdar

Perjalanan

32

يَعْرِفُ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Mengenalnya

33

مِنَّا

Huruf Jar dan Isim Dhamir

Dari kami

34

أَحَدٌ

Isim ‘adad

Seorang

35

حَتَّى

Huruf Ibtida’

Sehingga

36

جَلَسَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Duduk

37

إِلَى

Huruf Jar

Kepada

38

النَّبِيِّ

Isim Fa’il

Nabi

39

فَ

Huruf ‘Athaf

Maka

40

أَسْنَدَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Menyandarkan

41

رُكْبَتَيْهِ

Isim Jamid dan Isim Dhamir

Dua Lututnya

42

وَضَعَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Meletakkan

43

كَفَّيْهِ

Isim Jamid dan Isim Dhamir

Dua Telapak Tangannya

44

عَلَى

Huruf Jar

Diatas

45

فَخِذَيْهِ

Isim Jamid dan Isim Dhamir

Dua Pahanya

46

يَا

Huruf Nida’

Wahai

47

مُحَمَّد

Isim ‘Alam

Muhammad

48

أَخْبِرْ

Fi’il Amar

Khabarkanlah

49

يْ

Isim Dhamir

Akan Aku

50

الإِسْلاَمِ

Masdar

Islam

51

أَنْ

Huruf Menasabkan Fi’il Mudhari’

Bahwa

52

تَشْهَدَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Bersaksi

53

إِلَهَ

Isim Jamid

Tuhan

54

إِلاَّ

Huruf Istisna

Kecuali

55

تُقِيْمَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu dirikan

56

الصَّلاَةَ

Isim Masdar

Shalat

57

تُؤْتِيَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Tunaikan

58

الزَّكاَةَ

Masdar

Zakat

59

تَصُوْمَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Puasa

60

رَمَضَانَ

Isim ‘Alam

Bulan Ramadhan

61

تَحُجَّ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Haji

62

الْبَيْتَ

Isim Jamid

Ka’bah

63

إِنِ

Huruf Syarat

Jika

64

اسْتَطَعْتَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Kamu Sanggup

65

إِلَيْهِ

Huruf Jar dan Isim Dhamir

Kepadanya

66

سَبِيْلاً

Isim Jamid

Jalan

67

صَدَقْتَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Kamu Benar

68

عَجِبْنَا

Fi’il Madhi Ma’ruf

Kami Heran

69

لَهُ

Huruf Jar dan Isim Dhamir

Baginya

70

يَسْأَلُ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Dia Bertanya

71

يُصَدِّقُ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Dia Benarkan

72

اْلإِحْسَانِ

Masdar

Ihsan

73

تَعْبُدَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Sembah

74

كَأَنَّ

Huruf Menasab Isim

Seolah-olah

75

تَرَا

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu lihat

76

لَمْ

Huruf Nafi

Tidak

77

تَكُنْ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Ada kamu

78

يَرَا

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Ia Melihat

79

السَّاعَةِ

Isim Jamid

Kiamat

80

الْمَسْؤُوْلُ

Isim Maf’ul

Orang yang ditanya

81

أَعْلَمَ

Isim Tafdhil

Lebih Mengetahui

82

السَّائِلِ

Isim Fa’il

Orang yang bertanya

83

أَمَارَاتِ

Isim Jamid

Tanda-tanda

84

تَلِدَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Melahirkan

85

اْلأَمَةُ

Isim Jamid

Budak Perempuan

86

رَبَّةَ

Isim Jamid

Tuan

87

الْحُفَاةَ

Isim Fa’il (Jama’)

Para Telanjang kaki

88

الْعُرَاةَ

Isim Fa’il (Jama’)

Para Telanjang badan

89

الْعَالَةَ

Isim Fa’il (Jama’)

Orang Miskin

90

رِعَاءَ

Isim Fa’il (Jama’)

Para Pengembala

91

الشَّاءِ

Isim Jamid (Jama’)

Kambing

92

يَتَطَاوَلُوْنَ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Berlomba-lomba

93

الْبُنْيَانِ

Masdar

Bangunan

94

انْطَلَقَ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Ia Pergi

95

لَبِثْتُ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Aku Berdiam

96

مَلِيًّا

Isim Jamid

Waktu yang lama

97

عُمَرَ

Isim ‘Alam

Umar

98

أَ

Huruf Istifham

Adakah

99

تَدْرِي

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Kamu Tahu

100

قُلْتُ

Fi’il Madhi Ma’ruf

Aku Jawab

101

جِبْرِيْلُ

Isim ‘Alam

Jibril

102

أَتـَا

Fi’il Madhi Ma’ruf

Ia Datang

103

كُمْ

Isim Dhamir

Kamu

104

يُعَلِّمُ

Fi’il Mudhari’ Ma’ruf

Ia Mengajarkan

105

دِيْنَ

Isim Jamid

Agama

106

روا

Fi’il Madhi Ma’ruf

Meriwayatkan

107

مسلم

Isim ‘Alam

Perawi Muslim

 

4.     Takhkrij Hadis

Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.

 

Hadits ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Baari (I/115-116), yaitu :

Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).

Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).

Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).

Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).

Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)[2]

 

5.     Penjelasan (syarah)

Ada 4 hal yang menjadi fokus dalam penjelasan hadis tersebut diatas, yaitu:

1)       Keadaan Nabi Muhammad dan Sahabat pada saat Jibril datang

Salah satu metode menyampai ilmu oleh Rasulullah yaitu melalui majelis taklim, suatu masa Rasulullah sedang duduk dengan para sahabat di mesjid dalam suatu majelis taklim, Rasulullah meminta sahabat untuk bertanya , tapi sahabat enggan untuk bertanya kepada Rasulullah. Tiba – tiba datang seorang laki – laki masuk kedalam majlis taklim tersbut. Para sahabat yang hadir dalam majlis merasa heran melihat seorang laki-laki itu. Mereka heran disebabkan mereka tidak ada yang mengenalnya dan tiba-tiba langsung masuk dalam majlis tersebut dan mendekati Rasulullah saw. duduk berhadap-hadapan tanpa ada jarak. Lutut mereka berdua bersentuhan dan beradu karena dekatnya laki-laki tersebut dan meletakkan kedua tangannya di atas paha Rasulullah saw.[3]

Para sahabatpun saling berpandangan satu sama lainnya disebabkan kebingungan dan keheranan, mereka bertanya-tanya siapa gerangan lelaki ini, karena satupun di antara mereka tidak ada yang mengenalinya. Kebingungan mereka semakin bertambah ketika lelaki tersebut bertanya kepada Rasulullah saw. dan ketika nabi menjawab pertanyaannya diapun membenarkannya. Salah seorang sahabat tidak ada satupun yang berani bertanya dan menyela seorang lelaki tersebut hingga lelaki itu berlalu dari majlis. Keadaan Rasulullah saw, dalam majlis tersebut adalah dalam keadaan duduk sejajar dengan para sahabat tanpa ada tempat khusus yang membedakannya. Sehingga beliau tidak dapat melihat siapa saja yang hadir dalam majlis tersebut hingga ke belakang. Sejak itu para sahabat bermohon izin kepada Nabi agar membuat tempat duduk untuknya supaya Nabi dapat melihat siapa saja yang hadir mengikuti majlisnya. Atas dasar itu maka Al – Qurtubi menyimpulkan bahwa disunnahkan bagi seorang guru untuk membuat tempat duduk lebih tinggi dari murid-muridnya. Inilah yang diamalkan di masyarakat ketika dalam sebuah pengajian-pengajian dan di sekolah-sekolah bahwa tempat duduk gurunya berbeda dengan tempat duduk dari murid. Baik itu dari segi ukuran tingginya atau bentuk dan lainnya.

 

2)    Keadaan Jibril ketika datang pada majelis tersebut

Jibril datang kepada Rasulullah dengan berjalan kaki tanpa menunggang kuda dalam wujud seorang laki – laki yang tampan (berwujud manusia)[4] dan berpakaian berwarna putih. Tidak seorangpun sahabat yang mengenalnya, sesampainya di majelis, Jibril langsung duduk dekat Rasulullah, menempelkan lututnya dan menopangkan tangannya pada nabi dan berdialog dengan mengucapkan lafad salam. Bertujuan untuk mengajari sahabat nabi tentang agamanya.

Mengenai apakah Jibril mengucapkan salam kepada Rasulullah atau tidak, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Tetapi yang paling rajih adalah mengucapkan salam, sebagaimana Hadis dan riwayat an-Nasa’i dan al-Bazzar tersebut. Dalam hal in al-Qurtubi mengatakan bahwa disunnahkan untuk mengucapkan salam ketika memasuki suatu majlis secara umum dan mengucapkan salam secara khusus kepada orang yang ditemui dalam majlis tersebut.[5]

Pakaian jibril yang berwarna putih melambangkan kesucian dan kesederhanaan, hal ini menunjukkan bahwa agama Islam sangat mengajarkan tentang kesucian dan kesederhanaan.

Posisi duduk Malaikat Jibril dipahami seperti seorang murid, akan tetapi perbuatan meletakkan tangan di paha Rasulullah bertujuan untuk menarik perhatian agar orang-orang mendengarkannya. Disamping itu hadits ini juga mengindikasikan agar seorang yang ditanya tentang suatu permasalahan bersikap rendah diri dan simpatik terhadap orang yang menanyakan pertanyaan.

3)    Materi dialog antara Jibril dan Nabi Muhammad SAW

Terjadi perbedaan pendapat ulama tentang urutan pertanyaan tentang iman, islam dan ihsan, dari ketiga hal tersebut yang mana yang duluan disebutkan. Sebenarnya ini adalah satu hadis dan perbedaan ini disebabkan oleh periwayat yang meriwayatkannya berbeda beda tentang pertanyaan iman dan islam. Sebagian berpendapat bahwa pertanyaan yang duluan adalah tentang iman karena iman adalah dasar pokok agama, pertanyaan selanjutnya adalah tentang islam karena islam sebagai ciri keyakinan atas apa yang dinyatakan dan diyakini. Selanjutnya adalah ihsan karena ihsan tergantung kepada iman dan Islam. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa pertanyaan pertama adalah Islam karena ini berhubungan dengan masalah zahiriah dan pertanyaan kedua adalah iman, karena ini berhubungan dengan bathiniah.

Abu ‘Amr bin as-Salah mengatakan bahwa; berdasarkan apa yang kami sebutkan dan buktikan, muncul pemahaman bahwa iman dan Islam dapat terkumpul dan terpisah. Setiap mukmin adalah muslim, tetapi tidak setiap muslim adalah mukmin.[6] Apabila disebutkan islam dan iman secara bersamaan maka maknanya berbeda tetapi kalau disebutkan secara sendiri-sendiri maka maknanya sama.[7] Maksudnya adalah apabila dikatakan islam saja maka disitu tergabung dengan iman dan sebaliknya apabila disebutkan iman saja maka disitu sudah tergabung islam. Tetapi kalau dikatakan dua-duanya maka maknanya berbeda-beda. Kalau dikatakan Islam dan iman maka maksudnya adalah islam dari segi lahir sementara iman dari segi batin. Ini menunjukkan bahwa konteks Hadis ini tidaklah menunjukkan urutan,[8] tetapi yang jelas konteks Hadis ini adalah untuk menjelaskan kepada para sahabat tentang ajaran agama.

4)    Penjelasan terhadap materi yang menjadi dialog antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad SAW.

Ada 4 materi yang menjadi pembahasan dalam hadis ini, yaitu:

a.     Islam

Islam menurut bahasa maknanya tunduk dan berserah diri kepada Allah. Sedang menurut istilah Islam adalah melaksanakan lima amalan pokok, yaitu: bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah. Menegakkan shalat lima waktu pada waktunya, dengan menyempurnaka syarat dan rukunnya, serta memenuhi sunnah dan adab-adabnya. Membayar zakat, puasa Ramadhan dan berhaji kepada Baitullah sekali dalam hidupnya bagi siapa saja yang mampu melaksanakannya.

An – Nawai dalam menjelaskan kalimat “menyebah Allah dan tidak mensekutukan-Nya,” mengatakan bahwa ibadah itu adalah taat dan khudu’. Maksud ibadah disini adalah mengenal Allah dan mengesakan-Nya.

Ditambahkan dengan mendirikan salat dan seterusnya disini sebagai islam adalah karena keberadaanya sebagai syiar yang tampak. Sementara ibadah lainnya hanya ikut gemerlap ibadah yang ada dalam rukun islam tersebut.[9] Itulah sebabnya ketika seseorang yang mau masuk Islam wajib mengucapkan kalimat syahadat sebagai rukun utama atau fondasi. Adapun sembahyang dan lainya diumpamakan seperti bangunan dan menunjukkan kesempurnaan Islamnya dan ketika meninggalkan salah satunya diantara itu maka menunjukkan lemah keislamannya.

b.     Iman

Iman secara bahasa artinya At Tashdiq (membenarkan) dengan hati. Sedangkan secara istilah adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT adalah zat yang satu, esa, sendiri, tempat bergantung, tidak mempunyai istri dan anak. Dia Rabb segala sesuatu dan pemiliknya, tidak ada sekutu didalam kekuasaan-Nya. Dialah Al-Khaliq (yang menciptakan), Ar-Raziq (pemberi rizki), Al-Mu’thi (Pemberi anugrah), Al-Maani’ (Penahan pemberian), Al-Muhyi (Yang menghidupkan), Al-Mumit (Yang mematikan), sekaligus yang mengatur seluruh urusan makhluk-Nya. Termasuk beriman kepada Allah adalah beriman dengan segala apa yang Dia kabarkan dalam Al-Qur`an, atau yang diceritakan oleh Rasul-Nya tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan bahwasanya Dia tidak sama dengan makhluk-Nya dan bagi-Nya kesempurnaan mutlak dalam hal sifat dan nama-nama tersebut, dengan menetapkannya untuk-Nya tanpa tamtsil (menyerupakannya) dan menyucikannya tanpa ta’thil (menghilangkan maknanya).

Al-Bukhari mengatakan “bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan. Bahkan seluruh ahli hadis, sahabat, tabiin, Malik, asy-Syafi’i dan Hanbali juga berpendapat demikian.”[10] Lebih jelas lagi an-Nawawi mengatakan bahwa; “iman yang berhak disandang seorang mukmin itu adalah apabila ia mampu mendatangkan ketiga unsur berikut, yaitu membenarkan dalam hati diucapkan dengan lisan dan diamalkan anggota badan.[11]

Meyakini dengan kuat bahwa Allah memiliki para malaikat yang diciptakan dari cahaya, mereka tidak pernah membantah perintah-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.

 

Membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul-Nya untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya dengan kebenaran yang nyata serta petunjuk yang jelas. Dan bahwasanya ia adalah Kalam Allah yang Dia firmankan dengan sebenarnya sebagaimana yang Dia kehendaki dan menurut apa yang Dia inginkan.

Membenarkan dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyeru mereka untuk beribadah hanya kepada-Nya semata, tanpa menyekutukan-Nya dan untuk kafir kepada segala sembahan selain-Nya. Serta keyakinan bahwa semua Rasul adalah benar, mulia, luhur, mendapat petunjuk dan menunjuki orang lain. Mereka telah menyampaikan apa yang karenanya mereka diutus oleh Allah, tanpa menyembunyikan atau mengubahnya sedikitpun.

Meyakini dengan pasti kebenaran setiap hal yang diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitab suci-Nya dan setiap hal yang diberitakan oleh Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari apa yang akan terjadi sesudah mati, seperti fitnah kubur, adzab dan nikmat kubur, serta apa yang terjadi sesudah itu berupa kebangkitan dari kubur, mahsyar (tempat berkumpul di akhirat), shuhuf (catatan amal), hisab (perhitungan), mizan (timbangan), haudh (telaga), shirath (titian), syafa’at (pertolongan), Jannah dan Naar serta apa-apa yang dijanjikan Allah SWT bagi para penghuninya.

c.     Ihsan

Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalimat ini kata Ibn ‘Attar adalah termasuk jawami’ al-kalim.” [12] Makna ihsan di dalam Hadis ini adalah ihsan dalam ibadah, sedangkan bentuk ihsan dalam ibadah adalah ikhlas, khusyu' dan berkonsentrasi penuh pada saat melaksanakannya, dan yakinlah bahwa engkau selalu dipantau oleh Allah SWT. Atas dasar itu, jika engkau tidak dapat melihat-Nya senantiasalah beribadah, karena Dia selalu melihatmu. Baguskanlah amalanmu yang tidak tampak dan usahakan jangan sampai melakukan sesuatu yang bisa merusak amalanmu. Ikhlas itu dari sisi maknanya adalah murni, suci, tidak bercampur, bebas, jernih atau bersih dari pencemaran.[13] Demikian juga halnya berislam dan beriman kepada Allah mesti murni dan suci  sebagaimana makna dari ikhlas tersebut. Ketika seseorang beriman dan berislam dengan bercampur dengan unsur lain maka tentunya keimanan dan keislamannya tidak diterima. Karena hal itu menyebabkan seseorang menjadi musyrik dan musyrik itu adalah dosa besar yang merusak keimanan dan keislaman seseorang. Dari sisi medis, ketika seseorang melakukan ihsan (ikhlas) dalam berbuat atau beramal maka kamu akan bahagia. Ketika seseorang bahagia maka itu akan memunculkan zat endorphin dalam tubuh seseorang yang akan menambah imunitas. Sebaliknya seseorang yang melakukan amalan dengan tidak ikhlas maka ia akan merasa terbebani dan tidak bahagia dan ketika seseorang terbebani dan tidak bahagia maka akan timbul stress dan lain sebagainya yang akan menimbulkan berbagai penyakit.

d.     Hari kiamat

Ketika Jibril bertanya kepada Nabi tentang kapan terjadinya hari kiamat beliau mengatakan bahwa tidaklah yang ditanya lebih tahu dari yang bertanya. An-Nawawi[14] dalam menjelaskan kalimat ini mengatakan; “bahwa siapa saja yang ditanya dan dia tidak tahu jawabannya maka janganlah malu untuk mengatakan bahwa saya tidak tahu.” “Karena kejujurannya itu tidaklah menjatuhkan harga dirinya.” Akan tetapi hal itu merupakan keagungan, daripada memaksakan diri untuk menjawabnya padahal jawabannya bisa saja sesat dan menyesatkan anak didiknya.

Pada dasarnya seorang yang bertanya adalah karena dia tidak tahu. Akan tetapi bagi orang yang sudah tahu juga boleh mengajukan pertanyaan kepada seorang guru dengan tujuan untuk memberi tahu kepada yang lainnya yang belum tahu bukan untuk mengetes atau menguji kemampuan seorang guru. Hal ini dipahami soal jawab antara Jibril dengan Nabi tentang iman, islam dan ihsan. Dalam Hadis tersebut Jibril bertanya kepada Nabi padahal Jibril sudah tahu tentang hal itu. Akan tetapi Jibril bertanya kepada Nabi adalah untuk memberitahu kepada sahabat yang hadir dalam majlis tersebut.[15]

Begitupun Rasulullah menyampaikan kepada Jibril tentang tanda-tanda terjadinya hari kiamat tersebut. Setelah diminta oleh Jibril untuk menyampaikan ciri-cirinya. Di antaranya yang pertama adalah apabila seorang hamba melahirkan tuannya. Dalam memahami kalimat ini para ulama berbeda pendapat. Perbedaan tersebut menurut al-‘Asqalani[16] ada tujuh dan dia meringkasnya dalam empat pendapat sebagai berikut; “pertama, pendapat al-Khattabi, yaitu semakin “meluasnya negara Islam dan ditaklukkannya negara – negara musyrik dan menahan tawanan mereka, sehingga para tuan memiliki budak perempuan yang melahirkan anaknya. Maka anak yang dilahirkan budak itu sama posisinya dengan tuannya, karena dia adalah anak tuannya.” “Kedua, para tuan tersebut menjual para budak perempuan (ibu dan anak) mereka.” “Ketiga, pendapat an-Nawawi, yaitu seorang budak melahirkan seorang anak dari orang yang merdeka dengan hubungan yang syubhat atau dengan sesama budak baik dengan nikah yang sah maupun tidak. kemudian budak tersebut diperjualbelikan dan terus berputar kepemilikannya sampai akhirnya dia dibeli oleh anaknya.” Keempat, dan ini menurut pemakalah yang terjadi pada masa sekarang ini, yaitu banyaknya kedurhakaan terhadap orangtua sehingga seorang anak memperlakukan orangtuanya seperti budaknya dengan memaki, memukul bahkan menjadikannya sebagai pembantunya.

Tanda yang kedua akan terjadinya hari kiamat adalah “kalau kamu telah menyaksikan orang-orang yang tidak beralas kaki dan tidak berbusana dari kalangan orang-orang melarat penggembala domba saling berlomba-lomba mendirkan bangunan yang tinggi.” Al-Qurtubi mengatakan bahwa maknanya adalah; “berubahnya kondisi, yaitu orang-orang badui menguasai negara dengan kekerasan sehingga harta mereka melimpah.” “Kemudian perhatian mereka beralih kepada pembangunan gedung-gedung dan membanggakannya, dan inilah yang terjadi sekarang ini.”63 Pernyataan ini dikuatkan oleh hadis yang mengatakan; “tidak akan terjadi hari kiamat hingga orang yang paling Bahagia di dunia menjadi orang yang paling hina. Dan hadis lain yang menjelaskan jika suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggu saja kehancurannya.”[17]

6.     Penjelasan yang Dipetik dari Hadis

Ada banyak sekali hikmah dari hadits ini yang menjadi pelajaran untuk kita semua, diantara hikmah tersebut adalah:

1)    Dalam hadis ini mengajarkan kepada kita tentang etika menanyakan suatu pertanyaan. Bagi orang – orang yang hadir dalam majelis ilmu dan melihat ada beberapa orang ingin mengetahui suatu hal tapi pertanyaan tersebut belum ada yang menanyakan, maka sepatutnya dia menanyakan walapun sudah mengetahuinya agar orang lain yang hadir bisa mengambil manfaat dari jawabn yang diberikan. Apabila orang yang ditanya kepadanya tentang suatu hal dan dia tidak mengetahui jawabnnya, maka hendaklah jujur akan ketidaktahuannya supaya tidak terjerumus kepada hal – hal yang tidak diketahui.

2)    Islam, Iman dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Islam adaalah satu-satunya agama yang diakui Allah di sisi-Nya, sedangkan Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah Islam. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara Ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah dan barometer tingkat keimanan dan ketaqwaan seorang hamba. Maka Islam tidak sah tanpa Iman, dan iman pun tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman, dan iman pun tidak akan terwujud tanpa adanya Islam.

3)    Hadis ini juga mengajarkan kepada kita bahwa metode tanya jawab bagus digunakan sehingga ummat bisa mengetahui jawaban – jawaban yang diberikan dan semangat dalam belajar.

4)    Seseorang yang hendak mengaji, bertamu atau acara-acara resmi lainnya sangat disunnahkan untuk memperhatikan kondisi pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika menghadap ulama, orang-orang mulia dan penguasa. Dan ini merupakan etika atau adab dalam bepakaian.

5)    Jika seseorang ditanya tentang suatu hal yang memang dia tidak tau jawabannya, maka tidak ada celanya jika ia berkata “Saya tidak tahu“,  dan hal tersebut tidak akan mengurangi kedudukannya.

 

C.    PENUTUP

Mempelajari tentang kehidupan Rasulullah SAW sangatlah menarik karena disetiap yang beliau tunjukkan dan kerjakan menjadi pembelajaran kepada umat. Pelajaran berharga yang dapat diambil dari hadist Jibril ini ialah tidak semua orang yang bertanya itu tidak mengetahuinya. Sikap kepedulian, menjadikan seseorang mau menanyakan untuk orang lain sehingga orang lain akan mendapat pembelajaran dari jawaban yang dsampaikan.

Dari penjelasan hadis jibral, maka jelas bagi kita bahwa islam itu adalah iman, dan iman itu adalah islam. Apabila disebut satu di antaranya maka yang lain juga ikut di dalamnya.“Dengan demikian keimanan yang sebenarnya adalah tasdiq (menerima) di dalam hati bahwa “Tiada Tuhan Selain Allah”.”Selama di dalam hatinya ada tasdiq, walaupun anggota badannya meninggalkan salah satu dari rukun Islam bahkan melakukan dosa besar lainnya sekalipun ia tetap dikatakan beriman. Namun demikian tingkat keimanannya tersebut adalah tingkatan yang paling rendah. Sementara keimanan yang paling sempurna adalah, “tasdiq di dalam hati, diucapkan dengan lidah dan diamalkan anggota badan.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Al-‘Asqalani, Fath al-Bari

 

Siregar, Hadis-hadis Pendidikan (Jakarta, Kencana:2017)

 

Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bahri Sharah Shahih Al Bukhari. Terj. Ghazirah Abdil Ummah (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997)

 

Isma’il bin Muhammad bin Mahi as-Sa’di al-Ansari, At-Tuhfah ar-Rubbaniyyah fi Syarh alArba’in Hadisan an-Nawawiyyah (al-Iskandariyyah: Matba’ah Dar Nasyr as-Saqafah, 1380 H)

 

Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim (Beirut : Dar Ihya' at-Turas al-Arabi, tt.)

Yazid bin Abdul Qadir Jawwaz, Syarah Hadis Jibril Tentang Islam, Iman dan Ihsan (Almanhaj: September 2023), https://almanhaj.or.id/12078-syarah-hadits-jibril-tentang-islam-iman-dan-ihsan-3.html

 

 

 



[1] Muslim ibn al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim (Beirut : Dar Ihya' at-Turas al-Arabi, tt.), juz I, h. 36-40

[2] Yazid bin Abdul Qadir Jawwaz, Syarah Hadis Jibril Tentang Islam, Iman dan Ihsan (Almanhaj: September 2023), https://almanhaj.or.id/12078-syarah-hadits-jibril-tentang-islam-iman-dan-ihsan-3.html

[3] Isma’il bin Muhammad bin Mahi as-Sa’di al-Ansari, At-Tuhfah ar-Rubbaniyyah fi Syarh alArba’in Hadisan an-Nawawiyyah (al-Iskandariyyah: Matba’ah Dar Nasyr as-Saqafah, 1380 H), h. 8.

[4] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bahri Sharah Shahih Al Bukhari. Terj. Ghazirah Abdil Ummah (Jakarta: Pustaka Azzam, 1997), hal. 210.

[5] Ibid, hal 212

[6]  Ibn ‘Attar, .Syarah Hadits Arba’in, h. 11, Nawawi al-Jawi, Tanqih al-Qaul, h. 34.

[7]  ‘Abd al-Muhsin, Syarh Hadis Jibril, h. 17.

[8]  Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 117.

[9] An-Nawawi, al-Minhaj bi Syarh, juz I, h. 162.

[10] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 5.

[11] An-Nawawi, al-Minhaj, juz I, h. 147.

[12] Ibn ‘Attar, Syarah Hadits, h. 15.

[13] Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 359.

[14] An-Nawawi, al-Minhaj, juz I, h. 158

[15] Siregar, Hadis-hadis Pendidikan (Jakarta, Kencana:2017) h. 130

[16] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 122-123.

[17] Al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz I, h. 123.

0 comments:

Post a Comment