Saturday, October 12, 2024

DINASTI ABBASIYAH

 

DINASTI ABBASIYAH

 

A.         Pendahuluan

Berdirinya Dinasti Abbasiyah berawal sejak runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus. Banyaknya konflik yang terjadi pada Dinasti Umayyah menjadikan Dinasti Abbasiyah maju menggantikan kepeminpinan umat islam. Revolusi kepemimpinan Abbasiyah terhadap Umayyah banyak mendapatkan simpati dari Masyarakat, terutama dari kalangan Syi’ah. Dukungan ini disebabkan karena janji untuk menegakkan kembali keadilan seperti yang dipraktekkan oleh Khulafaurrasyidin.  Nama Dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Muhammad yang bernama al – Abbas ibn Abd al – Muthalib ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al -Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al – Abbas.

Peradaban Islam mengalami pucak kejayaan pada masa Dinasti Bani Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli Sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemnerintahan Dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam.

Dinasti Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam. Terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, Pada masa inilah, pertama kalinya dalam sejarah terjadi kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat dan menjadi suatu dinasti paling terkenal dalam sejarah Islam hingga saat ini.

 

 

B.         Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah adalah dinasti kedua dalam Sejarah Islam klasik yang menggantikan Dinasti Ummayyah. Lahirnya Bani Abbasiyah pada tahun 750 M tidak terlepas dari peran besar keturunan Hasyim yang bernama Abu Abbas. Nama Abbasiyah itu sendiri diambil dari nama bapak pendiri Abbasiyah, yaitu Abas bin Abdul Mutalib paman Nabi Muhammad Saw. Proses lahirnya Bani Abbasiyah dimulai dari kemenangan Abu Abbas Assafah dalam perang terbuka melawan Bani Ummayah yang terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas diberi gelar Assafah karena pemberani dan mampu memainkan mata pedangnya kepada lawan politik, semua lawan politik dikejar dan diusir keluar dari wilayah kekuasaan Abbasiyah yang baru direbut dari Bani Umayyah. Pada saat pergantian kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke Dinasti Abbasiyah banyak diwarnai dengan pertumpahan darah. Pemberontakan massal yang berkepanjangan menyebabkan tumbangnya Dinasti Bani Umayyah pada tahun 132 H/ 750 M dengan kalahkan khalifah Marwan ibn Muhammad.[1] Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang agama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawan yang panjang dalam sejarah Islam. Orang Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, karena bani Hasyim secara nasab keturunan lebih dekat dengan Rasulullah. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedy perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah.[2]

Sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah terdapat tiga poros utama yang merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain memiliki kedudukan tersendiri dalam memainkan perannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muthalib. Dari nama Al – Abbas paman Rasulullah inilah disandarkan pada tiga tempat pusat kegiatan, yaitu: Huhaimah, Kufah dan Khurasan.[3]

Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.

Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, imam Ibrahim pemimpin Abbasiyah yang   berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Ummayah terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti Umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya dieksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abu Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh dan memerintahkan untuk pindah ke Kufah. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah. Segeralah Abu Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah di iringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali. Penguasa Umayyah di kufah, Yazid bin Umar bin Hubairah, ditaklukan oleh Abbasiyah dan di usir ke Wasit. Abu Salamah selanjutnya berkemah di kufah yang telah di taklukan pada tahun 132 H. Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abbul Abbas di perintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad Bersama pasukannya yang melarikan diri. Akan tetapi pada akhirnya dapat dipukul mundur di Sungai Zab. Khalifah melarikan diri hingga ke Fustat di Mesir, dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah Al – Fayyum, tahun 132 H/ 750 M. Dan berdirlah Dinasti Abbasiyah yang di pimpin oleh khalifah pertama yaitu Abbul Abbas Ash – Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah.

Berdirinya Bani Abbasiyah tahun 750 M berarti secara formal semua wilayah kekuasaan islam berada dibawah kepemimpinan pemerintahan Abbasiyah termasuk semua bekas Bani Umayyah kecuali wilayah Bani Umayyah yang berada di Andalusia.

Selama kekuasaan Dinasti Abbasiyah, peradaban Islam sangat berkembang. Jika pada masa Bani Umayyah lebih dikenal dengan upaya ekspansinya, maka pada masa Dinasti Abbasiyah yang lebih dikenal adalah berkembangnya peradaban Islam. Kalau dinasti Umayyah terdiri atas orang-orang ‘Arab Oriented’, dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional, assimilasi corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan sebagainya.

Pemerintahan Dinasti Abbasiyah berlangsung selama 505 tahun dan diperintah oleh 37 khalifah yang dibagi menjadi 5 fase pemerintahan, yaitu:

a.     Fase pembentukan tahun 750 M – 847 M

Fase ini dimulai dari khalifah pertama yaitu Abu Abbas Assafah sampai ke khalifah ke 9 al Wastsiq. Abu Abbas dan Abu Ja’far al-Mansur adalah khalifah sebagai peletak pondasi yang kuat bagi dinasti ini. Kemudian ada khalifah Harun al – Rasyid sebagai khalifah kelima yang membangun peradaban ilmu pengetahuan.

b.     Fase kedua tahun 847 M – 945 M

Fase kedua dikenal dengan pengaruh kekuasaan Turki, fase ini dimulai dari khalifah yang kesepuluh yaitu al – Mutawakkil, pada masa ini peradaban masih berkembang tapi tidak pesat seperti fase sebelumnya. Pada masa ini diakhir abad ke – 9 terjadi disintegrasi atau pecahnya kekuasaan islam menjadi wilayah – wilayah kecil yang lepas dari pemerintahan Abbasiyah.

 

 

c.     Fase ketiga tahun 945 – 1055 M

Fase ini dikenal dengan masa disintegrasi di kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan Muluk Tawaif di dinasti Umayyah II Andalusia. Pada fase ini perkembangan ilmu masih berjalan meskipun sudah menurun dan mahasisawa dari Eropa masih tetap belajar di pusat – pusat peradaban Islam, baik di Bagdad maupun Andalusia.

d.     Fase keempat tahun 1055 – 1194 M

Fase keempat ini disebut juga dengan kekuasaan bani Saljuk atau fase pengaruh Turki kedua. Kegiatan perkembangan ilmu masih berjalan akan tetapi dibeberapa tempat di wilayah Islam telah terjadi perang dengan orang Kristen.

e.     Fase kelima tahun 1194 – 1258 M

Ini adalah fase terakhir dari Dinasti Abbasiyah, fase dimana pemerintahan semakin lemah dan hancurnya Dinasti Abbasiyah. Setelah terjadi disintegrasi dan perang salib dan pada akhirnya diserang oleh kekuasaan Mongolia. Kekuasaan Islam yang selama 5 abad dibangun dengan susah payah telah takluk dan hancur.

 

C.            Kemajuan Dalam Bidang Intelektual, Keagamaan Dan Sosial Budaya

Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah didalam perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, termasuk kemajuan dalam bidang sosial budaya.

a.     Kemajuan dalam bidang intelektual

Puncak keemasan dan kejayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah Harun ar-rasyid dan putranya Al Makmun. Pada masa itu umat islam diberi kebebasan berfikir untuk kemajuan pengetahuan dan pengembangan manusia pada saat itu. Pada masa kekhalifahan ini pula hasi pemikiran manusia dan para ahli ilmu dari berbagain bangsa di dunia berkembang dan saling melengkapi dan menambah kemajuan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.[4]

Pada masa Dinasti Abbasiyah suasana belajar sangat kondusi dan fasilitas belajar disediakan oleh pemerintah dengan lengkap. Masyarakat mendatangi tempat – tempat belajar seperti Kuttab, madrasah maupun perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang terkenal pada masa itu adalah Nizamiyah yang dibangun oleh perdana Menteri Nizamul Muluk dari khalifah Harun al- Rasyid. Khalifah Harun al- Rasyid terkenal sebagai khalifah yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, baik belajar maupun dalam hal membangun fasilitas belajar, seperti; sekolah, perpustakaan, menyediakan guru dan membentuk gerakan terjemahan.

Dinasti Abbasiyah yang berkuasa sekitar lima abad lebih merupakan salah satu dinasti yang sangat peduli pada pengembangan ilmu pengetahuan. Buku – buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan diterjemahkan kedalam Bahasa Arab. Kegiatan penerjemahan buku – buku ini berjalan sekitara satu abad. Bait al – Hikmah, yang didirikan oleh al – Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat terjemahan, tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Diantara cabang – cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait al – Hikmah yaitu ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi, astronomi, Sejarah dan filsafat.

Didorong oleh ayat – ayat al – Quran yang menganjurkan kepada umat islam untuk menghargai kekuatan akal yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada manusia dan ajaran Rasulullah agar umat Islam untuk selalu mencari ilmu pengetahuan sehingga cendekiawan Islam tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat tetapi juga melakukan kajian, pemikiran dan penyelidikan sendiri dalam bidang filsafat. Proses ini disebut dengan Hellenisasi. Melalui proses ini karya karya teresbut dimodifikasi sehingga menjadi sebuah pemikiran khas Islam. Diantara tokoh – tokoh yang ikut andil dalam perkembangan ilmu filsafat Islam adalah: (1) Al – Kindi (801 – 873 M) beliau adalah seorang filsuf muslim pertama yang berasa dari suku Kindah. Al – Kindi berusaha untuk menjelaskan hubungan antara agama dan filsafat, antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan sehingga tidak perlu diperdebatkan karena keduanya sama – sama mencari kebenara. Titik temu pada kebenaran inilah yang kemudian menyebabkan banyak ilmuan Muslim mengkaji pemikiran filsafat Yunani dan Romawi sehingga filsafat menjadi salah satu hasil dari pemikiran ilmuan muslim yang sangat cemerlang saat itu; (2) Abu Nasr al – Faraby (870 – 970 M) karya dan pemikiran beliau yaitu fusus al hikam, al – mufarriqat, Ara’u ahl al – Madinah al – Fadhikah. Diantara pemikirannya yang sangat cemerlang dalam bidang filsafat adalah filsafat emanasi (pancaran); (3) Ibnu Sina (980 – 1037 M) beliau adalah salah satu filosuf muslim yang gemar mencari pengetahuan sehingga pengetahuannya berkembang tidak hanya dalam bidang filsafat tetapi juga dalam ilmu kedokteran yang menghasilkan sebuah karya besar yaitu al – Qanun fi al – Thibb (ensiklopedi kedokteran) yang menjadi bahan rujukan para ilmuan dan dokter dunia hingga abad ke – 18 M. diantara pemikiran filsafat yang dikembangkan adalah filsafat jiwa, filsafat wahyu dan Nabi, dan filsafat wujud; (4) Al – Ghazali (1059 – 1111 M) diantara karya al – Ghazali adalah al-Munqidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan), Tahafut al-Falasifah (kerancuan pemikiran para filosof). Al-Ghazali melalukan pencarian kebenaran dan hakikat dan tidak menemukan argument yang kuat dalam kedua bidang tersebut, akhirnya melakukan pencarian diri mengenai hakikat yang sebenarnya. Semua itu ditemukan dalam bidang tasawuf. Dalam bidang inilah dia mencapai kepuasan dalam usaha mencari kebenaran yang hakiki; (5) Ibnu Rusyd (1126 – 1196 M) merupakan seorang filosul yang menguasai berbagai ilmu pengetahuan selain filsafat seperti ilmu fiqh, Bahasa dan sastra Arab, matematika, fisika, astronomi, logika dan ilmu kedokteran. Diantara karyanya adalah Bidayah al-Mujtahid (membahas ilmu hukum) Kitab al-Kulliya (membahas ilmu kedokteran) dan dia dikenal juga sebagai seorang komentator Aristoteles karena kritikan dan komentarnya yang sangat tajam. Pemikiran Ibnu Rusyd dan Al – Kindi mempunyai kesamaan dalam bidang filsafat, karena menyatakan filsafat tidaklah bertentangan dengan Islam karena antara Islam dan filsafat memiliki kesamaan yaitu mencari tahu tentang pencipta alam semesta dan isinya.

Pemikiran dan karya para filosof Islam yang hidup pada Dinasti Abbasiyah menjadi rujukan oleh para ilmuan dan filosuf selanjutnya, selain itu juga pemikiran para filosuf Islam ini membuat bangsa barat mencapai masa kejayaan karena telah terbuka pikiran dan gagasan serta menerjemah karya umat Islam kedalah bahasa Yunani. Dari sinilah dikenal masa renesaince (revolusi industri)

Ilmu kedokteran juga merupakan salah satu ilmu yang mengalami perkembangan yang sangat pesat pada saat itu. Dimana pasa masa tersebut didirikan apotik. Pada awal abad ke-9 Harun al-Rasyid mendirikan rumah sakit islam dengan mencontoh rumah sakit yang ada di Persia. Tokoh – tokoh Islam yang terkenal dalam dunia kedokteran antara lain adalah al-Razi dengan karangannya yaitu al-hawi. Dan Ibnu Sina dengan karangannya yang terkenal yaitu al-Qanun fi al-Thibb dan Materia Medica.[5]

Terdapat juga ilmu kimia yang memperkenalkan eksperimen obyektif dengan tokoh yang terkenal dalam bidang kimia yaitu Jabir bin Hayyan dan dalam bidang matematika dengan tokoh yang terkenal yaitu Al-Khawarizmi, selain itu juga Al-Khawarizmi merupakan seorang ahli di bidang ilmu bumi dan astronomi, ahli ilmu bumi pertama dalam Sejarah Islam adalah Hisyam al-Kalbi yang terkenal pada abad ke-9 M.

b.     Kemajuan dalam bidang keagamaan

Dinasti Abbasiyah juga memperhatikan dengan perkembangan ilmu agama pada masa pemerintahannya, seperti ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu fiqh dan tasauf.

Ilmu Hadis:

Berawal dari masa Dinasti Umayyah dalam Upaya melakukan penafsiran Al Quran, maka penguasa melakukan Upaya pencarian dan pengumpuan hadis – hadis Nabi. Hanya saja pembukuan hadis tidak dapat diselesaikan karean meninggalnya khalifah Umar bin Abdul Azis. Kemudian pada pertengahan abad ke 2 H telah terjadi bentuk  baru dalam pembukuan hadis, yaitu pembukuan yang terlepas dari sistematika fiqh dan tidak dimasukkan kedalamnya Fatawa al-Tabi’in dan pada abad ke 2 H mulai diadakan kritik hadis dan kritik terhadap sanad. Diantara tokoh yang terkenal dalam bidang hadis yaitu Imam al Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i.

Ilmu Tafsir:

Ilmu tafsir adalah ilmu yang dikembangkan untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an. Pada awal masa Dinasti Abbasiyah, ilmu tafsir masih menjadi bagian dari ilmu hadis. Para ulama memahami isi Al-Qur’an dari hadis yang diriwayatkan oleh para imam hadis. Pada perkembangan berikutnya, tafsir Al-Qur’an mulai dibukukan secara terpisah dari kitab hadis. Mereka yang menyusun kitab tafsir ini disebut dengan mufassirin atau ahli tafsir. Di antara ahli tafsir yang muncul pada saat ini, ada seorang yang berhasil menyusun kitab tafsir yang cukup lengkap. Ia bernama Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir atau ath-Thabari (839-923 M). Kitab tafsir yang disusunnya berjudul Jami ‘al-Baya fi Ta’wil Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan nama Tafsir At-Tabari. Tafsir At-Tabari menjadi pelopor penyusunan kitab tafsir pada masa-masa berikutnya.

Ilmu Fiqh:

Pada masa Dinasti Abbasiyah, para fuqaha (ahli fiqh) mampu Menyusun kitab – kitab fiqh terkenal hingga saat ini. Para ahli fiqh dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: ahl al Hadis dan ahl al-Ra’yi, ahl al Hadis adalah golongan yang menyandarkan kepada hadis dan mengambil hukum(istinbath al-hukm) sedangkan ahl al-Ra’yi adalah golongan yang menggunakan akal dalam mengambil hukum (istinbath al-hukm).

Pada masa Dinasti Abbasiyah terjadi pertentangan antara ahli hukum tentang sumber pengambilan hukum, antara al-Sunnah, al-Qiyas, Ijma’ dan Taklif. Kemudian dari pertentangan ini lahirlah ilmu Ushul al-Fiqh. Pada masa Dinasti Abbasiyah dikenal empat ilmuan fiqh atau disebut juga imam mazhab. Para imam mazhab tersebut adalah: (1) Imam Abu Hanifah (699 – 767 M), Imam Abu Hanifah hidup diantara 2 masa, dipenghujung Dinasti Ummayah dan awal Dinasti Abbasiyah, beliau sangat ketat dalam menerima hadis dan sangat kritis. Dasar pokok mazhabnya adalah Al-Quran, hadis, ijma’, qiyas dan istihsan. Diantara karya beliau dalam bidang fiqh adalah al-Fiqh al-Akbar; (2) Imam Malik (716-795 M) selain mahir dalam ilmu fiqh, Imam Malik juga menguasai ilmu kalam dalam karyanya al-Muwaththa; (3) Imam Syafi’i (767-820 M) karya tulisannya yang terkenal yaitu al-Umm dan al-Risalah; (4) Imam Hanbali (780 – 855 M) beliau merupakan salah satu murid dari Imam Syafi’I, beliau tidak menulis kitab fiqh, melainkan para muridnya yangn menghimpun pemikirannya dikemudian hari. Meskipun begitu beliau dikenal sebagai penulis kitab hadis Musnal Ahmad bin Hanbal yang memuat 40.000 hadis.

Ilmu Tasawuf:

Kecenderungan pemikiran yang bersifat filsofis menimbulkan gejolak pemikiran diantara umat islam, sehingga banyak diantara pemikir Islam mencoba mencari bentuk Gerakan pemikiran lain, seperti tasawuf. Situasi politik pada masa itu menyebabkan banyak ulama Islam mencari jalan menju Tuhan melalui pendekatan tasawuf dengan pendekatan maqam. Para sufi meninggalkan kenikmatan dunia dan kegiatan mereka hanya beribadah kepada Allah SWT. Tahapan (maqam) yang dilalui olehpara sufi yaitu: Zuhud (kehidupan yang telah terbebas dari materi duniawi, Muhabbah (rasa cinta yang sangat dalam kepada Allah SWT, Ma’rifat (pengalaman ketuhanan), Fana dan Baqa (suatu keadaan dimana seorang sufi belum dapat menyatukan dirinya dengan Tuhan sebelum menghancurkan dirinya), Ittihad dan Hulul (fase dimana seorang sufi sudah merasakan dirinya Bersatu dengan Tuhan) Hulul adalah fase dimana Tuhan dalam pandangan kaum sufi sudah bersemayam dalam diri manusia. Tokoh tokoh sufi yang terkenal yaitu: Abu Hasyim, Rabi’ah al-Adawiyah, Zun Nun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, Al-Hallal dan al-Ghazali dengan karya besarnya Ihya Ulum al-Din.[6]

c.     Kemajuan dalam bidang sosial budaya.

Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Dinasti Abbasiyah telah banyak memberikan sumbangsih positif bagi pengembangan pengetahuan dan peradaban Islam dan bidang lainnya seperti sosial budaya. Diantara kemajuan sosial budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial Masyarakat yang majemuk membawa dampak posited dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Karena dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki dinasti ini sehingga bisa digunakan untuk memajukan bidang sosual budaya. Diantara kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota dan lain sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembanguanan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara banguan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra.[7]

D.             Kemajuan Dalam Bidang Ekonomi dan Politik

Perbedaan yang terlihat dari Dinasti Umayyah dengan Dinasti Abbasiyah terlihat pada orientasi kebijakan yang dikeluarkan. Pemerintah Dinasti Umayyah orientasi kebijakan yang dikeluarkan selalu pada upaya perluasan wilayah kekuasaan, sedangkan pemerintahan Dinasti Abbasiyah lebih fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Sehingga masa pemerintah ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam. Walaupun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan hal penting yang harus dilakukan. Oleh karena itu, pemeritahan Dinasti Abbasiyah memperbaharui system politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran. Supaya semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yaitu diwanul jundi. Departemen ini yang mengatur semua yang berkaitan dengan militer dan pertahanan keamanan, pembentukan Lembaga ini didasari atas kenyataan politik militer bahwa pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah banyak terjadi pemberontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha untuk memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

Untuk sektor ekonomi pada dinasti Abbasiyah mengalami perkembangan pesat, yaitu dengan membangun system perdagangan, industry dan pertanian. Pemindahan ibukota dari Damaskus ke Bagdad untuk mempermudah pengawasan di jalur perdagangan melalui Sungai Efrat dan Tigris. Selain itu tanah yang subur di Bagdad bisa digunakan untuk memproduksi hasil pertanian yang melimpah. Hal ini bisa meningkatkan kas negara yang sangat besar. Untuk menunjang hasil pertanian yang baik, pemerintah membangun kanal, irigasi dan saluran air sehingga dinasti Abbaisyah menjadi pemasok hasil pertanian seperti gandum, padi, kurma, wijen dan kapas.

E.             Kehancuran Dinasti Abbasiyah

Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah terjadi pada fase kelima pemerintahan, yaitu pada tahun 590 H – 656 H (1194 M – 1258 M). pada fase ini pemerintahan semakin lemah dan menurun. Hal ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor, yang terbagi menjadi faktor internal dan factor external.

Faktor internal:

1.          Perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan

Khilafah Abbasiyah awalnya didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang – orang Persia. Persekutuan ini dilatarbelakangi oleh persamaan nasib, kedua golongan ini sama – sama tertindas ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa. Setelah khalifah Abbasiyah berdir, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan Persekutuan ini. Kedua kubu ini saling berselisih karena kecenderungan masing – masing ingin berkuasa. Orang Persi menginginkan dinasti dengan raja dan pegawai dari Persi. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah darah istimewa dan menganggap bangsa non-Arab lebih rendah. Perselisihan sudah dirasakan sejak awal berdirinya Dinasti Abbasiyah, tapi fanatisme kebangsaan ini tampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa.

Setelah al-Mutawalil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat. Mereka dapat menentukan siapa yang diangkat menjadi khalifah dan itu menyebabkan Dinasti Abbasiya menjadi sangat lemah dan kekuasaan telah beralih ke tangan bangsa Turki. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah kemudian direbut oleh Bani Buwai, Persia. Kemudian kekuasaan beralih ke Bani Seljuk, Turki pada periode keempat (447-590 H)[8]

2.          Munculnya dinasti – dinasti kecil yang memerdekakan diri

Wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah pada periode pertama sampai masa keruntunan sangatlah luas, yang meliputi Maroko, Mesir, Syira, Irak, Persia, Turki dan India. Namun, kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah melainkan berada dibawah kekuasaan gubernur yang bersangkutan.

 Hubungan dengan khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti, khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk sehingga tingkat saling percaya dikalangan penguasa dn pelaksana pemerintahan sangat rendah. Para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dibanding politik dan ekspansi wilayah. Selain itu, banyak daerah – daerah yang memerdekakan diri karena terjadi kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh Persia dan Turki, sehingga mengakibatkan beberapa provinsi dipinggiran mulai lepas dari Dinasti Abbasiyah.

3.              Kemerosotan perekonomian

Pada periode pertama, pemerintahan DInasnti Abbasiyah termasuk pemerintahan yang kaya, perekonomian Masyarakat sangat maju, utamanya di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Seiring dengan masa kemuduran politik perekonomian juga ikut mudur. Pendapatan negara menjadi menurun karena semakin sempitnya wilayah kekuasaan serta banyaknya kerusuhan yang menyebabkan terganggunya perekonomian rakyat. Sementara pengeluaran sangat besar karena kehidupan para khalifah dan pejabat yang mewah dan terjadi korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara menjadi terpuruk sehingga memperlemah kekuatan politik dinasiti Abbasiyah.

4.              Munculnya aliran sesat dan fanatisme keagamaan

Sebagian dari orang-orang Persia mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme sebab cita-cita mereka tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini kemudian menggoda rasa keimanan para khalifah. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlangsung mulai dari bentuk yang sederhana seperti polemik tentang ajaran hingga konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Selain itu, terjadi pula konflik dengan aliran Islam lainnya, sepeti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah yang menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara.

Faktor external:

1.          Perang salib

Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam. Kebencian tersebut bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah ke sana. Karena itulah, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada umat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yaitu Perang Salib. Perang salib yang berlangsung dalam beberapa periode banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilayah Islam. Setelah melakukan peperangan di tahun 1097-1124 M, mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Baqdis, Akka, Tripoli, dan kota Tyre.

2.          Serangan Mongolia

Orang Mongolia merupakan bangsa yang berasal dari Asia Tengah, sebuah kawasan terjauh di China, terdiri dari kabilah – kabilah yang disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). sebagai awal kehancuran Baghdad dan khilafah Islam, tentara Mongol mulai menguasai negara Asia Tengah, Khurasan dan Persia. Mereka berhasil menaklukkan negara Khawarizm dan menguasai Asia Kecil. Kemudian, Hulagu Khan mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak supaya tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Akan tetapi, Khalifah tetap enggan memberikan jawaban sehingga di awal tahun 1258 M, Hulagu Khan menghancurkan tembok ibu kota. Hulagu Khan beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang. Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu'tashim menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.

F.             Kesimpulan

Dinasti Abbasiyah terbentuk sejak runtuhnya kekuasaan Bani Ummayah di Damaskus. Masa keemasan Dinasti Abbasiyah mengalami masa keemasan pada masa pemerintaan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur, Khalifah Harun ar-Rasyd dan Khalifah Abdullah al-Makmun.

Masa pemerintahan terdiri dari lima fase, yaitu: fase pertama pembentukan atau dikenal dengan masa kebangkitan dan pencerahan, fase kedua dikenal dengan pengaruh kekuasaan Turki pertama, fase ketiga dikenal dengan masa disintegrasi dalam Dinasti Abbasiyah dan Muluk Tawaif di Dinasti Ummayah II Andalusia, fase keempat disebut dengan fase kekuasaan Bani Saljuk atau disebut juga dengan fase pengaruh Turki kedua, pada fase ini sudah mulai terjadi perang salib, fase kelima dikenal dengan fase terlemah dan sampai kehancuran kekuasaan Dinasti Abbasiyah dimana Mongolia menyerah Abbasiyah dengan sangat kejam dan mengakibatkan berakhirnya kegemilangan peradaban Islam

Kehancuran Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh faktor internal dan external disebabkan dengan adanya perang Salib dan penyerangan dari Mongolia.

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Anwar Sewang, Sejarah Peradaban Islam, Sulawesi Selatan, 2017

Bahroin Suryantara, Sejarah Kebudayaan Islam,Jakarta: Yudhistira, 2010

Berliana Intan Maharani, Penyebab runtuhnya dinasti abbasiyah (https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6599357/penyebab-runtuhnya-dinasti-abbasiyah-dinasti-kedua-dalam-sejarah-islam) Diakses pada tanggal 26 September 2023, pukul 13.00 Wib

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam, Jakarta: PT Grasindo, 2002

 

M. Daud Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Buku Publisher, 2009

 

Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT Karya Toha Putra, 2010

 

 



[1] Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam (Jakarta: Grasindo, 2002), hal. 27

[2] M. Daud Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta, Pustaka Buku Publisher, 2009), hal. 143

[3] Anwar Sewang, Sejarah Peradaban Islam (Sulawesi Selatan, 2017), hal.  214

[4] Bahroin Suryantara, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Yudhistira, 2010), hal. 12.

[5] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: Karya Toha Putra), hal. 107

[6] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: Karya Toha Putra, 2010), hal. 117.

[7] Anwar Sawang, Sejarah Peradaban Islam (Malang: Wineka Media, 2017), hal. 222.

[8] Berliana Intan Maharani, Penyebab runtuhnya dinasti abbasiyah (https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6599357/penyebab-runtuhnya-dinasti-abbasiyah-dinasti-kedua-dalam-sejarah-islam) Diakses pada tanggal 26 September 2023, pukul 13.00 Wib

0 comments:

Post a Comment